Firman Syah - Mengenal Ragam Potensi Pariwisata

i

ii

iii MENGENAL RAGAM POTENSI PARIWISATA INDONESIA Firman Syah

iv

v MENGENAL RAGAM POTENSI PARIWISATA INDONESIA

vi Hak Cipta Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ a tau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ a tau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

vii MENGENAL RAGAM POTENSI PARIWISATA INDONESIA Firman Syah Penerbit PNJ Press Anggota APPTI No: 001.004.1.06.2018

viii MENGENAL RAGAM POTENSI PARIWISATA INDONESIA Firman Syah Editor Nunung Martina, Devi Handaya Desain Sampul & Tata Letak Dimas Surya Perdana Penerbit PNJ Press Gedung Q, Politeknik Negeri Jakarta, Jl. G.A. Siwabessy, Kampus Baru UI, Depok Cetakan Pertama, November 2021 ISBN : 978-623-7342-71-7 Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

ix PRAKATA Alhamdulillaah, penulis ucapkan dengan karya buku ajar pariwisata edisi ketiga ini selesai pada Bulan Suci Ramadhan. Seluruh ini menjadi ungkapan rasa syukur penulis kehadirat ALLAH SWT atas segala nikmat terutama nikmat Iman, Islam, rahmat, dan karunia yang tak terhingga. Karya ketiga pariwisata ini penulis beri judul “Mengenal Ragam Potensi Pariwisata Indonesia”, sebagai salah satu referensi untuk mata kuliah Pengantar Kepariwisataan di Program Studi MICE Politeknik Negeri Jakarta, dan secara umum dapat digunakan bagi seluruh kalangan akademisi dan penggiat pariwisata. Selanjutnya, seluruh daya dan upaya yang dicurahkan dalam pembahasan buku ajar ini kurang bermakna tanpa adanya bantuan, support, serta dukungan moral maupun spiritual yang telah diberikan semua pihak. Maka dari itu, ungkapan terima kasih penulis persembahkan kepada.: 1. Bapak Dr.sc. Zaenal Nur Arifin, Dipl-Ing. HTL., M.T. selaku Direktur Politeknik Negeri Jakarta yang memberikan motivasi kepada seluruh dosen sehingga mampu menjadi pendidik yang profesional. 2. Ibu Titik Purwinarti, S.Sos, M.Pd selaku Ketua Jurusan Administrasi Niaga yang telah memberikan izin dan dukungan terhadap dosen-dosen untuk berpartisipasi dalam mengikuti hibah buku ajar yang diselenggarakan P3AI. 3. Ibu Nunung Martina, S.T., M.Si. selaku Wakil Direktur I yang memberikan peluang bagi dosen dalam menyusun buku ajar Program Studi MICE. 4. Orang tua penulis Bapak Budiharto dan Ibu Jamilah, juga mertua (alm) Bapak Nasikhin dan (almh) Ibu Markhamah yang mendidik penulis dalam mengarungi kehidupan sekaligus terus

x memberikan memotivasi untuk melangkah ke depan. 5. Istri tersayang yang sholihah dan setia, Siti Kholifah, S. Pd yang terus berupaya memberikan motivasi, perhatian, dan selalu sabar untuk bersama-sama mengarungi lika-liku kehidupan baik suasana senang maupun sedih. Tak terlupa dua bidadari kecil Salma Raisa Ishmah dan Dzakira Aftani Lubna yang selalu hadir untuk mengisi kebahagiaan di dalam keluarga. 6. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan ini yang tentu tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya besar harapan, buku ajar ini untuk dapat terus mengalami perkembangan ke depan sesuai kondisi kekinian kepariwisataan yang ada di Indonesia, sehingga kehadiran buku ajar ini juga dapat memberi masukan bagi penulis dan pembaca yang ingin mengetahui ragam potensi pariwisata yang ada di Indonesia, baik alam, budaya, maupun keanekaragaman potensi yang lain. Jakarta, 27 April 2020 Penulis

xi KATA PENGANTAR Berbicara potensi pariwisata tidak ada habisnya. Seluruh keindahan alam, kekayaan budaya, kreatifitas dan kearifan lokal yang dijaga oleh masyarakat lokal menjadi potensi pariwisata di Indonesia yang dapat “dijual” kepada wisatawan. Sehingga pariwisata tersebut menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal juga daerah sebagai devisa. Terutama bagi masyarakat di pedesaan yang dinilai masih jauh dari pembangunan di daerah. Bukan saatnya lagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya di pedesaan, memiliki konsep mencari penghasilan dengan datang ke kota-kota besar. Karena justru akan menambah persoalan baru di kota tujuan tersebut sementara lingkungan dimana mereka berasal tidak mengalami perubahan. Padahal ada pula daerah-daerah tersebut yang memiliki potensi kepariwisataan, namun belum optimal dan dimaksimalkan keberadaannya oleh masyarakat lokal maupun stakeholder yang berkecimpung di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Buku ini menjabarkan bagaimana potensi daya tarik wisata yang beragam dan berada di Indonesia. Baik itu dalam bentuk pemandian air panas alami, gua, peninggalan sejarah dan purbakala berupa candi, keraton, prasasti, pertilasan, dan bangunan kuno. Selanjutnya dijabarkan potensi pariwisata terkait pengelolaan museum, pemukiman dan/atau lingkungan adat, dan wisata ziarah atau wisata religi. Juga pengelolaan pulau-pulau kecil, pantai, dan wisata agro. Termasuk pembahasan kawasan pariwisata yakni enam daerah yang masuk kategori Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah pusat.

xii Sehingga kehadiranbuku inimelengkapi pengetahuankepariwisataan yang sudah dilakukan beberapa akademisi maupun penulis lain di bidang pariwisata. Untuk itu, kontribusi yang diberikan penulis mudah-mudahan dapat memberikan gambaran secara umum bagi kemajuan dunia pendidikan, khususnya bidang usaha jasa pariwisata yang ada di Indonesia. Sehingga di masa mendatang, semakin beragam kegiatan pariwisata dapat lebih baik untuk pengembangan destinasi wisata yang dilaksanakan oleh generasi penerus di bidang usaha jasa pariwisata. Depok, April 2021

xiii DAFTAR ISI Prakata Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Ilustrasi/Gambar BAB 1. PENDAHULUAN BAB 2. DAYA TARIK WISATAALAM BAB 3. DAYA TARIK WISATA BUATAN BAB 4. KAWASAN PARIWISATA Daftar Pustaka (Bibliografi) Biografi Singkat Penulis ix xi xiii xiv 1 7 71 113 176 200

xiv DAFTAR GAMBAR Pemandangan Wisata Guci Pemandangan Gua Pindul Pantai Baron Wisata Kaligua Wisata Hutan Mangrove Kaliwlingi Peninggalan Sejarah Adat Kraton Jogjakarta Rumah Adat Papua Museum AH Nasution Pemukiman dan/atau Lingkungan Adat Kampung Urug Masjid Kubah Mas Tanjung Lesung Resort 8 13 27 42 58 71 75 79 82 90 104 150

xv

xvi

1 BAB 1 PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sudah menjelaskan bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini khususnya mengacu pada Pasal 33 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Dalam ayat 3 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Penjelasan aturan tertulis di atas memiliki tujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang tidak hanya terpusat di kota-kota besar. Namun, lebih ke arah pedesaan yang notabene hingga saat ini masih banyak yang masuk kategori minim dari pembangunan. Oleh karena itu, penyusunan konsep otonomi daerah ini sejatinya mampu memberikan peluang yang besar bagi daerahdaerah yang masih minim tersentuh ragam program pembangunan. Salah satunya di tingkat desa. Kewenangan pemerintah daerah pada akhirnya mulai bergairah untuk melakukan program-program yang mendukung kemajuan di desa-desa. Semua itu diawali dengan

2 lahirnya hukum terkait otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke-2, khususnya pasal 18 ayat 1-7, pasal 18A ayat 1 dan 2, serta pasal 18B ayat 1 dan 2. Hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 1 (6) dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem ini memungkinkan daerah untuk mengatur dan melaksanakan segala kebijakan yang dipandang tepat dengan tetap masih dikontrol oleh pemerintah pusat dan sesuai dengan undang-undang. Lima tahun kemudian, pada 2009, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memaparkan bahwa upaya pembangunan perdesaan telah dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan program-program yang telah ditetapkan dan menghasilkan berbagai kemajuan. Namun, masih banyak wilayah perdesaan yang belum berkembang secepat wilayah lain mengingat Indonesia masih didominasi kawasan perdesaan sebesar 82% dan sekitar 50% penduduk Indonesia masih tinggal di kawasan perdesaan. Jika ditarik pada jumlah desa yang ada di Indonesia, sebagaimana data yang ada dari Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tiga tahun mengalami kenaikan. Pada 2011 tercatat 66.725 desa,

3 naik pada 2014 menjadi 69.363 desa, dan pada 2018 mengalami kenaikan dengan total menjadi 71.074 desa di Indonesia. Dalam kajian yang dilakukan [1], untuk mengembangkan desa khususnya terkaitt pariwisata (desa wisata), pemerintah bersama masyarakat sudah semestinya mengembangkan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Yaitu, prinsip perbedaan yang ada di desa namun tetap mencerminkan jati diri bangsa. Beragam kebudayaan, tradisi, keindahan alam, kerajinan dan lain yang menjadi identitas suatu pulau merupakan sebagian kecil kekayaan yang dimiliki Indonesia. Desa wisata memiliki kemampuan dalam menyuguhkan tradisi, budaya, lingkungan, dan aktivitas yang belum tentu dimiliki desa lain. Artinya, sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat setidaknya memberi harapan bahwa aspek kepariwisataan yang dibangun dan dikembangkan tidak lepas dari pola kehidupan mereka. Menjaga alam dan merawat dengan baik juga menjaga kelangsungan hidup seluruh ekosistem merupakan tujuan utama dalam pembangunan dan pengembangan desa wisata. Beberapa kekayaan yang dapat dimaksimalkan adalah wisata petualangan, wisata agro, wisata bahari, wisata kuliner, wisata budaya dan sejarah, sampai dengan wisata kreatif yang identik dengan kerajinan tangan masyarakat lokal. Ketika konsep ini dapat berjalan lancar, diharapkan ekonomi desa juga ikut maju yang akan membawa kesejahteraan bersama. Tentu saja program-program pemberdayaan dari sisi SDM, mengoptimalkan perekonomian melalui peluang yang ada, serta sistem informasi dapat disiapkan dengan matang dalam mendukung

4 pembangunan desa (Syah, 2015). Sejalan dengan itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar mengutarakan konsep pembangunan desa beberapa waktu lalu, melalui pertumbuhan ekonomi dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Dua hal itu kemudian dirumuskan arah kebijakan pembangunan dalam konsep SDGs Desa. Di antara sekian banyak tujuan yang dijabarkan adalah Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan, Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, Desa Peduli Lingkungan Laut, dan Desa Peduli Lingkungan Darat (Kemendesa, 2021). Di sisi lain, suatu destinasi wisata (khususnya di Indonesia) juga memperhatikan wisatawan muslim. Mengingat saat ini keberadaan warga muslim terus mengalami pertumbuhan pesat di belahan dunia. Dengan pasar muslim inilah melahirkan konsep pariwisata syariah (halal tourism). Pasar muslim bergeliat dan bertumbuh ditandai dengan maraknya indusri hijab, kosmetik halal, bank dan keuangan syariah, makanan halal, hotel syariah, dan sebagainya. Secara teknis, kebijakan terkait pariwisata syariah sudah dituangkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa tersebut menjadi dasar layanan pariwisata syariah seperti jenis makanan dan minuman, ketentuan hotel, ketentuan destinasi

5 wisata, ketentuan spa, sauna, message, biro perjalanan wisata syariah, dan pengaturan tentang pemandu wisata yang sesuai dengan prinsip syariah. Hanya saja aturan tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa dan bersifat mengikat, karena hanya bertindak sebagai pedoman moral bagi kalangan internal umat Islam saja. Kondisi tesebut diperparah dengan dicabutnya peraturan mengenai Pedoman Penyelenggaran Usaha Hotel Syariah Nomor 2 Tahun 2014 melalui terbitnya Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2016 [2]. Terlepas dari aturan yang silih berganti di Indonesia, potensi kepariwisataan dapat terus dipertahankan karena mampu menggerakkan perekonomian masyarakat lokal, khususnya bagi desa-desa dengan potensi masing-masing untuk menjadi destinasi wisata. Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (a) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, terdapat 13 usaha pariwisata yang meliputi: a. Daya Tarik Wisata b. Kawasan Pariwisata c. Jasa Transportasi Wisata d. Jasa Perjalanan Wisata e. Jasa Makanan dan Minuman f. Penyediaan Akomodasi g. Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi h. Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran i. Jasa Informasi Pariwisata j. Jasa Konsultan Pariwisata k. Jasa Pramuwisata

6 l. Wisata Tirta m. Spa

7 BAB 2 DAYA TARIK WISATA ALAM Potensi pariwisata yang dimiliki suatu destinasi wisata khususnya desa wisata secara umum, terbagi atas tiga bentuk. Daya tarik wisata, kawasan pariwisata, dan wisata tirta. Seluruh daerah yang ada di belahan Indonesia manapun sudah dipastikan memiliki salah satu di antaranya, atau bahkan lebih. Dengan begitu, jika dikaji dan digali dengan seksama, Indonesia kaya akan potensi pariwisata. Masing-masing destinasi wisata memiliki ciri khas yang berbeda sehingga tetap menjadi keunikan, keindahan, dan nilai tambah bagi wisatawan untuk melakukan kunjungan. Nurmansyah (2014) berpendapat, daya tarik pariwisata hingga saat ini masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, terutama menyangkut kegiatan ekonomi dan sosial. Sehingga daya tarik wisata yang menjadi potensi pariwisata dapat berupa kekayaan alam, budaya, maupun hasil buatan manusia dimana mampu menarik lebih banyak devisa negara. Perlu ada strategi dalam pengembangan usaha pariwisata sebagaimana dijelaskan [3]. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (terdiri lebih dari 17.504 pulau), pemerintah Indonesia perlu menetapkan beberapa peraturan terkait peningkatan mutu pelayanan pariwisata dan kelestarian lingkungan wisata yang melibatkan masyarakat setempat untuk mengelola daya tarik wisata juga sarana dan prasarana serta fasilitas yang dibutuhkan di suatu destinasi wisata. Sehingga membuat nyaman wisatawan saat

8 melakukan kunjungan. Kesiapan destinasi wisata tersebut harus diimbangi dengan ragam bentuk kegiatan promosi yang gencar dilaksanakan setiap saat. Termasuk ke dalam kategori potensi daya tarik wisata adalah pemandian air panas, gua, peninggalan sejarah dan purbakala, museum, pemukiman dan/atau lingkungan adat, dan objek ziarah. a. Pemandian Air Panas Alami Dokumentasi Pribadi Pengelolaan pemandian air panas alami, baik dikelola perorangan, badan usaha, maupun pemerintah pada dasarnya

9 mengacu pada standar pengelolaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 27 Tahun 2015. Salah satunya di Pemandian Air Panas Guci Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ketika musim liburan, wisata alam di selatan Kabupaten Tegal ini selalu ramai wisatawan. Karena selain menyajikan nuansa alam pegunungan yang indah, juga adanya kepercayaan warga dengan mandi air panas yang mengandung belerang tersebut untuk terapi berbagai penyakit [4]. Hasil penelitian ini dipertegas [5] dimana Guci merupakan petilasan Sunan Gunungjati dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia yang terletak di kaki Gunung Slamet bagian utara dengan ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan air laut. Dengan suhu sekitar 20 derajat celcius pada siang hari dan 17-18 derajat celcius pada malam hari membuat udara di Guci tergolong sejuk dan membuat nyaman wisatawan. Sayang dengan potensi tersebut, Guci masih belum maksimal sebagai destinasi utama wisatawan. Mayoritas wisatawan hanya mengenal Guci sebagai destinasi yang hanya menyajikan pemandangan layaknya Puncak. Selain sebagai pemandian air panas, Guci juga mempunyai fungsi utama sebagai salah satu hulu Daerah Aliran Sungai Gung yang merupakan penyedia air irigasi untuk sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Tegal. Tidak mengherankan ketika Guci akhirnya menjadi salah satu aset wisata yang mempunyai manfaat ekonomi tangible sebagai sumber utama pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata. Sebagian penduduk juga melakukan aktifitas ekonomi dengan berdagang barang dan jasa dan sebagian

10 yang lain bertani (Akhmadi, 2010). Tinggal bagaimana pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta manusia sebagai pihak yang akan mengelola Guci dengan tetap berorintasi pada perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Inilah yang menjadi tantangan di bidang destinasi wisata berbasis pemandian air panas di pegunungan. Termasuk juga pemandian air panas di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Pengelolaan obyek wisata alam ini sudah masuk ke dalam bagian integral pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Samosir, khususnya Kelurahan Siogungogung, Kecamatan Pangururan. Dari pemandian air panas tersebut dapat memberikan konstribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Beberapa usaha yang dilakukan oleh masyarakat dan pengelola (pemerintah Kabupaten Samosir) adalah dengan menyediakan berbagai penawaran jasa wisata berupa penyediaan tempat untuk menikmati keindahan alam, adanya rumah makan, penjualan souvenir dan prasarana tempat berjalan berupa anak tangga [6]. Waidah dan Kalsum (2021) juga memberikan saran supaya berbagai sarana dan prasarana pendukung perlu dibangun. Karena dapat menunjang kelancaran proses kunjungan wisatawan. Antara lain kantor pos, warung telekomunikasi, toko cinderamata, restoran, hotel, money changer, dan bentuk sarana yang lain. Termasuk juga fasilitas penunjang yang memudahkan wisatawan mencapai destinasi pemandian air panas seperti transportasi, toilet, tempat istirahat, mushola, tempat parkir, dan tempat sampah yang

11 memadai. Ini pula yang belum terjadi pada kolam pemandian air panas di Desa Tanjung Hutan, Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Kolam tersebut memiliki daya tarik tersendiri yang mampu menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara untuk merasakan suasana desa yang masih sangat alami. Termasuk juga aksesibilitas, keamanan, dan kenyamanan bagi wisatawan selama berada di destinasi wisata. Kolam seluas lebih kurang 20.000 KM2 dengan empat kolam berbeda ukuran dan suhu tersebut memiliki aksesibilitas dan fasilitas yang masih kurang memadai. Temuan ini juga dipertegas oleh [7], dimana pemandian air panas di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Baratini memiliki jarak yang cukup jauh antar satu wisata ke wisata lain, akomodasi yang kurang, jarang dilalui angkutan umum, dan kondisi jalan yang tidak sebaik jalan provinsi. Padahal tidak semua pemandian air panas tersebut murni dikelola pemerintah daerah, adapula yang dikelola swasta. Untuk itu, diakui atau tidak, destinasi pemandian air panas belum tentu memiliki perencanaan dalam pengelolaan dan pengembangan yang baik. Termasuk di bidang pemasaran dengan tujuan mengundang wisatawan datang. Seperti yang terjadi pada obyek wisata Kalianget di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Sebagai obyek wisata urutan ketiga dengan jumlah pengunjung terbanyak ini ternyata kurang familiar bagi wisatawan dari luar area Kabupaten Wonosobo. Dengan kalimat lain, wisatawan yang datang hanya berasal dari daerah sekitar kawasan obyek wisata saja [8].

12 Selain kurang promosi, masalah lain yang dihadapi pemandian air panas adalah fasilitas yang masih minim. Hal ini terjadi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara dengan pemandian air panas Aek Milas Siabu [9]. Adapun sumber air panas tersebut muncul di jalur Pegunungan Bukit Barisan dan memiliki gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Sorik Marapi. Lokasi yang cukup strategis membuat Aek Milas Siabu menjadi pilihan destinasi wisata bagi wisatawan, terlebih karena lokasi yang berada tidak jauh dari pemukiman masyarakat. Sehingga cukup potensial dikembangkan bagi kehidupan dan perekonomian masyarakat. khususnya masyarakat Kelurahan Siabu. Salah satu permasalahan yang kurang seperti dikeluhkan pengunjung adalah fasilitas toilet yang belum memadai dan masih terbatasnya pilihan makanan dan jajanan yang tersedia di warung. Alasan mereka berjualan seadanya karena keterbatasan keterampilan dan modal. Hasil penelitian [10] juga mempertegas adanya masalah yang masih dihadapi pemandian air panas di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Dari sekian banyak objek wisata, ada dua yang menarik yaitu Gundaling dan Pemandian Air Panas Semangat Gunung karena selain dikenal masyarakat umum, juga menjadi unggulan dalam memasok Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi dari sektor pariwisata. Namun, pengelolaan kedua objek wisata ini belum baik yang mengakibatkan minat wisatawan menurun. Air Panas Semangat Gunung semakin kumuh dan fasilitas pendukung seperti gazebo dan tempat sampah tidak terawat. Juga banyak kios/toko yang hanya buka saat hari libur. Penurunan wisatawan

13 juga diakibatkan adanya erupsi Gunung Sinabung dan koordinasi pelaku pariwisata dengan lembaga terkait yang membuat pungutan liar muncul serta harga parkir bisa mencapai dua kali lipat. Kondisi ini jelas membuat para wisatawan tidak nyaman. Padahal sudah terdapat standar usaha pengelolaan pemandian air panas alami yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 27 Tahun 2015. Salah satu poin menjelaskan jika di dalam area pemandian harus tersedia pintu masuk dan keluar area yang berbeda, dilengkapi pos keamanan, dan fasilitas penunjang lain. fasilitas penunjang tersebut seperti loket penjualan tiket, parkir, tempat penitipan barang, perlengkapan dan peralatan mandi, area bilas badan, toilet, tempat makan dan minum, ruang ibadah, dan tempat sampah. b. Gua Dokumentasi Pribadi

14 Selanjutnya, ada pula daya tarik wisata dengan kategori gua. Hingga saat ini belum terdapat peraturan yang spesifik membahas pengelolaan gua. Sehingga masih merujuk pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst. Karst merupakan bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit yang menunjukan bentuk eksokarst (karst pada bagian permukaan) dan bentuk endokarst (karst pada bagian bawah permukaan), dimana salah satu kriteria adalah memiliki mata air permanen dan memiliki gua yang membentuk sungai atau jaringan sungai bawah tanah. Beberapa daerah di Indonesia sendiri memiliki gua yang sudah dijadikan destinasi wisata. Salah satu objek wisata gua yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya Kabupaten Gunungkidul. Seperti Gua Pindul dan Gua Rancang Kencana yang saat ini dijadikan destinai wisata. Sebagai salah satu obyek wisata, Gua Pindul memang menawarkan pemandangan yang eksotik. Oleh warga sekitar, Gua Pindul juga disebut sebagai Mbelik Panguripan (Mata Air Kehidupan). Ini berkaitan dengan leluhur dan legenda dari tokoh bernama Kyai Jaluwesi yang berkonflik dengan raksasa bernama Bendhogrowong untuk adu kesaktian. Karena merasa kalah, Bendhogrowong kemudian mengeluarkan aji-aji namun meleset dan mengenai seekor anjing peliharaan Widodo dan Widadi (anak kembar Kyai Jaluwesi). Anjing bernama Sona Langking cedera parah dan berlari tak karuan menuju sumber air yang ada di balik semak-semak.

15 Kyai Jaluwesi yang mengikuti arah lari Sona Langking kaget ketika mendapat anjingnya telah pulih dari cedera. Melihat hal itu, Kyai Jaluwesi kemudian menamai sumber air itu sebagai Mbelik Panguripan, karena mampu menyembuhkan luka parah yang diderita anjingnya. Permasalahannya, Gua Pindul ini dikelola tiga pihak yang sering kali masing-masing ingin menguasai lahan, yakni Karang Taruna Desa Bejiharjo Karangmojo, Panca Wisata, dan Tunas Wisata. Maka, dibutuhkan peran pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk dapat memediasi dan menyelesaikan sampai tuntas. [11] menjelaskan ketiga pihak tersebut mempunyai daerah kekuasaan masing-masing, karena pintu masuk ke Gua Pindul terdapat tiga pintu masuk. Sehingga cara seperti ini seringkali membuat persaingan di antara tiga pihak. Seperti hasil kajian [12], pembingkaian berita konflik Gua Pindul oleh Kedaulatan Rakyat lebih menekankan pada ketidakjelasan regulasi pemerintah sehingga memunculkan konflik yang bersifat vertikal yaitu antara Edi Purwanto sebagai anggota DPRD yang akan mendirikan Taruna Wisata dengan pengelola lama wisata (Dewa Bejo, Wira Wisata, dan Panca Wisata). Sementara itu, Harian Jogja penekanannya lebih pada konflik antara pengelola wisata (konflik horizontal) karena tidak adanya kerjasama di antara mereka. Oleh karena itu, Kedaulatan Rakyat berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul proaktif mengatasi masalah ini, sementara itu Harian Jogja lebih menekankan pentingnya deklarasi damai dibandingkan penyelesaian masalah melalui jalur hukum. Proses

16 produksi media atas konflik wisata tidak bebas kepentingan, Kedaulatan Rakyat menerapkan sudut pandang strukturalis dan Harian Jogja dengan sudut pandang liberal. Supaya tidak berlarut-larut, Sri Sultan Hamengkubuwono X pun terpaksa turun tangan dan diputuskan mengadakan rekruitmen warga sekitar untuk bekerja dan mengelola Gua Pindul. Ada yang menjadi tukang parkir dan guide menuju obyek wisata. Guide ini standby di pintu masuk menuju Gua Pidul, bahkan ada yang dari Kota Wonosari supaya wisatawan tidak tersesat. Setiap guide yang membimbing wisatawan akan memperoleh upah Rp. 5000,- per wisatawan dari tiga pihak yang mengelola obyek wisata Gua Pindul. Selain itu tidak sedikit para guide diberi ketrampilan Bahasa Inggris oleh Dinas Pariwisata untuk bisa berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Sebagai bentuk promosi dapat dilakukan melalui media internet (web dan blog) atau media sosial (facebook, twitter, dan yang lain). Selain juga pengenalan Gua Pindul dengan memasang spanduk-spanduk, billboard, ataupun penunjuk jalan, karena sebagian besar wisatawan berasal dari luar daerah bahkan ada yang dari luar jawa. Selain itu, menurut Fauzi (2010) keberadaan Gua Pindul secara tidak langsung memberikan manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Namun, sangat disayangkan para stakeholder masih cenderung memperhitungkan nilai ekonomi atau nilai pasar terhadap barang yang dapat dinilai secara moneter saja. Sedangkan biaya tidak langsung dari manfaat lingkungan belum diperhitungkan, yang tentunya berakibat pada biaya yang

17 ditanggung pengunjung tidak dialokasikan untuk konservasi lingkungan. Orientasi wisata selama ini ke petualangan pada akhirnya masih memiliki beberapa kekurangan. Antara lain rusaknya ekosistem akibat tidak memperhatikan lingkungan sekitar, hilangnya sumber perekonomian warga akibat rusaknya lingkungan, ancaman bahaya yang tinggi seperti banjir, dan tidak adanya informasi keilmuan mengenai kawasan karst. Ini sangat disayangkan mengingat Gua Pindul merupakan bagian dari Geopark Gunung Sewu telah diresmikan masuk ke dalam jaringan Global Geopark Nasional oleh UNESCO pada 2015. Pernyataan ini dipertegas [13], maka diperlukan pengembangan ekowisata berkelanjutan agar dalam pengelolaan tidak hanya mengedepankan kepuasan sesaat (keuntungan pihak tertentu), juga mengedepankan konservasi dan edukasi lingkungan. Sementara Gua Rancang Kencana yang berada di desa wisata Bleberan, Kecamatan Playen ini juga memiliki Air Terjun Sri Gethuk. Hasil penelitian Kiswantoro (2017) menyebutkan jika dilihat dari kenyamanan fasilitas, baik itu secara umum, Tourism Information Centre (TIC), tempat kuliner, kesehatan, maupun kenyamanan tempat belanja tidak memberikan pengaruh apapun terhadap wisatawan untuk melakukan kunjungan kembali. Sementara fasilitas keamanan dan kepuasan wisatawan memberikan keputusan para wisatawan untuk melakukan kunjungan kembali. Dimana wisatawan merasa puas untuk menikmati keindahan alam yang disajikan di lingkungan gua.

18 Tak heran jika gua di Indonesia saat ini tidak hanya berperan sebagai kekayaan alam, tetapi juga sebagai bagian dari destinasi wisata minat khusus. Seperti yang berada di Bantul, yaitu Gua Selarong. Selain merupakan wisata alam, juga dikenal bersejarah karena menjadi saksi bisu perjuangan Pangeran Diponegoro pada zaman penjajahan. Supaya menarik wisatawan, pemerintah dan pengelola menyediakan fasilitas sebagai salah satu penunjang untuk pengembangan obyek wisata. Peran pemerintah sendiri seperti pembangunan objek wisata yang rusak akibat bencana alam. Juga merencanakan membangun sebuah taman agar pengunjung dapat bercengkrama atau hanya duduk-duduk saja untuk sekedar melepas penat setelah menaiki tangga (Anggraini, 2019). Masih di Bantul, obyek wisata gua Cerme yang berada di Imogiri ini dinilai berbeda dengan obyek wisata gua-gua yang lain. Pemandangan dalam gua, panjang gua, tipe lorong, air bawah tanah serta pemandangan di luar menjadi trademark yang perlu dipertahankan. Atraksi utama yang ada selama ini hanya sebatas menelusuri gua saja. Untuk itu, kesenian lokal karawitan, solawatan, laras madya, ketoprak, srandul, dhadhungawuk pada dasarnya layak dijadikan atraksi pendukung. Paket perjalanan yang dibuat pun setidaknya tidak membosankan dan dapat menimbulkan tantangan bagi wisatawan sehingga harus dikemas sedemikian rupa yang memperhatikan unsur lain, baik kemudahan prasarana jalan, transportasi, dan akses komunikasi yang bisa menjangkau ke suatu obyek. Termasuk juga wisatawan dapat menikmati atraksi yang dipadukan dengan adanya akomodasi, MCK, rumah makan, dan

19 yang lain. Sehingga ketika akan mengambil kebijakan penentuan harga, wisatawan dapat memilih sesuai pada tingkat kebutuhan dan keinginan, kondisi perekonomian saat wisatawan melakukan perjalanan, dan kapasitas wisatawan [14]. Artinya, keinginan untuk kembali ke alam (back to nature) ditunjukkan dari kecenderungan wisatawan yang ada. Seperti saat wisatawan mengunjungi gua di Pulau Nusakambangan. Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang berhubungan langsung dengan Segara Anakan dan Samudera Hindia. Sejatinya, pulau tersebut biasa dikenal dengan pulau “penjara”. Sehingga potensi-potensi yang dimiliki belum semua dapat terkelola secara optimal dan menimbulkan kesan seram. Temuan dari [15], Pulau Nusakambangan memiliki kawasan karst yang terbentang dari bagian timur, tengah, hingga barat pulau. Sehingga, dalam penggunaan lahan kawasan karst terbagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Gua sendiri masuk ke dalam kawasan lindung. Yakni, mempunyai fungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup baik sumberdaya alami, sumberdaya buatan, nilai budaya, dan sejarah bangsa. Kawasan lindung karst ini meliputi kawasan resapan dan penyimpan air bawah tanah, serta kawasan perlindungan setempat. Masih di Jawa Tengah, Kabupaten Purbalingga juga memiliki obyek andalan yakni Gua Lawa yang terletak di Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja. Daya tarik wisatawan yang datang tidak hanya untuk menikmati gua melainkan dapat menggunakan areal bermain anak-anak, bumi perkemahan dengan pemandangan yang

20 indah dan udara pegunungan yang sejuk. Dengan kalimat lain, pengembangan Gua Lawa tidak lepas dari peranan faktor-faktor geografis yang ada dan saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti faktor alam (lokasi, kemiringan lereng, iklim, flora fauna, tanah, air, geologi dan geomorfologi) dan faktor pengembang (daya tarik, infrastruktur, fasilitas pelayanan, akomodasi, pengelolaan, permodalan, penduduk dan agen pengembang) yang memiliki hubungan timbal balik. Dari semua faktor tersebut, yang menjadi pendukung kehadiran Gua Lawa adalah lokasi, kondisi hidrologi, keadaan iklim, geologi, geomorfologi, dan keadaan penduduk (aktivitas penduduk). Sedangkan yang kurang mendukung dalam pengembangan Gua Lawa adalah kemiringan lereng, flora fauna, tanah dan tingkat pendidikan penduduk (Susanti, 2005). Maka, diperlukan usaha pemerintah dalam merencanakan pengembangan jangka pendek seperti pembuatan jalur lingkar (menghubungkan Gua Lawa dengan wisata alam yang lain) dan pengembangan jangka panjang (membuat paket perjalanan satu hari di Purbalinggga dengan nama ”One Day in Purbalingga”. Ternyata tidak semua gua berpotensi tinggi untuk dikembangkan sebagai wisata minat khusus. Di antara yang memiliki potensi wisata minat khusus adalah Gua Merah/Gua Ratu, Gua Tuka, dan Gua lawa. Sedangkan Gua Maria, Gua Masigitsela, Gua Tulang, Gua Wili, dan Gua Nagaraja dapat dikembangkan menjadi wisata yang bersifat mass tourism. Gua Maria dan Gua Masigitsela memiliki nilai budaya dan pengetahuan, sehingga digunakan sebagai kegiatan spiritual. Sementara Gua Merah/Gua

21 Ratu termasuk yang bernilai historis, Gua Lawa dan Gua Wili kaya akan makhluk hidup sehingga bernuansa ilmiah, dan lain sebagainya. Gua di Pulau Nusakambangan dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluan domestik, misalnya irigasi, mencari kelelawar dan mengambil kotoran kelelawar (guano), ziarah, dan sebagainya. Ciri-ciri gua sendiri tergolong beragam. Ada yang vertikal, horizontal, dialiri sungai bawah tanah, dan ada pula yang telah kering dengan berbagai macam ornamen di dalamnya. Beberapa ornamen gua yang ditemukan pada gua-gua di Pulau Nusakambangan seperti stalaktit, straw, stalakmit, kolom atau tiang, canopy, gordyn, draperies, gourdam, dan chamber. Masih di Jawa, tepatnya Kabupaten Pacitan Jawa Timur sendiri memiliki daya tarik Gua Gong. Menurut riset [16], Gua Gong memiliki keunikan pada keragaman bentuk stalaktit dan stalakmit, penamaan ruang-ruang, penamaan sendang, serta mitos yang dipercayai oleh masyarakat. Beberapa keunggulan yang dimiliki ditinjau secara geografi, lokasi Gua Gong cukup strategis karena paling mudah dijangkau jika dibandingkan dengan objek wisata lain dan dilalui oleh jalur-jalur menuju objek wisata lain. Aksesibilitas mudah dijangkau dengan kondisi jalan baik dan disediakan rambu-rambu serta penerangan jalan dan pagar pengaman di pinggir jalan yang memudahkan wisatawan menuju ke lokasi. Mengingat daerah tersebut melalui tikungan, tanjakan, dan turunan. Terlebih daerah letak gua tersebut merupakan kawasan wisata yang sejak 1995 sudah menjadi daerah pertanian. Sayangnya, akomodasi (hotel) dan rumah makan masih sangat

22 sedikit dan hampir tidak ada. Padahal, keberadaan Gua Gong tersebut membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat, misalnya penyewa senter dan pemandu. Termasuk lapangan kerja untuk pedagang kuliner dan souvenir, fotografer, dan tukang ojek. Nilai utama dari kegiatan wisata gua tersebut terdapat pada interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan wisatawan yang terlihat lebih komunikatif dan ramah. Sementara hasil penelitian [17], pengembangan Gua Selomangleng di Kota Kediri, Jawa Timur (situs peninggalan zaman Kerajaan Kediri) masuk kategori pembangunan pariwisata berkelanjutan. Namun, apa yang dilaksanakan masih tergolong sangat minim karena adanya persoalan kepemilikan lahan yang dimiliki Perum Perhutani dan tanah Brigirf Wira Yudha. Maka diperlukan koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis, pemberdayaan UMKM di dalam maupun di sekitar gua. Langkah ini diharapkan dapat memperluas dan memeratakan kesempatan masyarakat untuk berwirausaha sekaligus membuka atau memperluas lapangan kerja yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, daerah, dan negara. Tugas dan tanggung jawab Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga Kota Kediri ini terdiri dari pembangunan Taman Pergola, penambahan MCK (toilet), penambahan mushola/tempat ibadah, penambahan pusat informasi pariwisata, dan pembangunan hutan kota. Langkah awal dimulai dengan perizinan ke pihak Perhutani untuk membuat akses jalan. Sehingga masih diperlukan banyak usaha keras dari berbagai pihak untuk mengembangkan dan

23 membangun Gua Selomangleng, agar sesuai prinsip keberkelanjutan, terutama berlandaskan manfaat lingkungan dan umat manusia. Sementara di Kabupaten Tuban, Jawa Timur juga terdapat Gua Ngerong dan Gua Putri Asih yang termasuk wisata alam dengan keindahan menawan. Namun wisatawan yang datang masih didominasi dari Kabupaten Tuban. Hasil penelitian [18] menunjukkan bahwa Kabupaten Tuban tergolong daerah dengan destinasi wisata yang cukup lengkap, terkenal dengan selogan “Tuban Bumi Wali”, banyak wisata pantai, dan memiliki julukan “Kota 1000 Gua”, yang mana terdapat banyak sekali gua, baik yang telah di kelola ataupun belum. Untuk karakteristik Gua Ngerong memiliki aksesibilitas, atraksi, fasilitas pengunjung, dan keindahan alam yang baik. Sedangkan karakteristik objek wisata Gua Putri Asih memiliki keindahan alam dan strategi promosi yang sangat baik, aksesibilitas, dan atraksi yang baik dengan fasilitas pengunjung. Sementara untuk pengelolaan, Gua Ngerong sudah cukup baik yang dilihat dari kelengkapan sarana prasarana, strategi promosi yang baik, dan sebagian besar rencana pengelola terlaksana. Namun, untuk Gua Putri Asih dirasa kurang maksimal dikarenakan masih banyak sarana-prasarana yang kurang layak. Hal ini terlihat pada perencanaan perbaikan fasilitas pengunjung yang tidak terlaksana karena terkendala pendanaan. Tentu saja ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan wisatawan tidak nyaman untuk berkunjung.

24 Untuk di Kabupaten Bogor Jawa Barat juga terdapat daya tarik wisata alam yakni Gua Gudawang. Gua berupa situs gua alam ini terletak di Kampung Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg ini dikembangkan dari segi manajemen. Ganar, dkk (2021) menjelaskan beberapa kendala yang diperlukan strategi pengembangan terkait pengelolaan manajemen yang masih belum baik dan jumlah wisatawan yang masih sedikit. Antara lain manajemen strategi, membuat perencanaan bisnis, manajemen keuangan, dan manajemen pemasaran. Manajemen pemasaran yang dilakukan dalam mendatangkan wisatawan dengan cara memaksimalkan promosi, melakukan brand making, dan yang lain. Selain Pulau Jawa, wisata gua menurut [19], terdapat juga di Bali. Seiring perkembangan pariwisata, terdapat pula daya tarik di antaranya Gua Peteng di Jimbaran yang merupakan peninggalan sejarah dan kini mulai dikembangkan dan dipublikasikan secara umum sebagai daya tarik wisata. Di dalam gua tersebut ditemukan peninggalan berupa Lingga dan Yoni serta Arca Dewi Parwati serta didukung dengan keindahan alam disekitarnya sebagai daya tarik wisatawan. Karena Gua Peteng merupakan situs peninggalan purbakala dan terdapat suatu tempat persembahyangan yang disakralkan oleh penduduk setempat. Fasilitas yang dikembangkan sebagai pendukung pun diadakan seperti restoran, artshop, stage pementasan kesenian, dan wisata outbound seperti flying fox, junggle tracking, dan rock climbing. Persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan Gua Peteng untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata sangat setuju. Alasannya, akan memberikan

25 dampak positif bagi perkembangan pariwisata di kawasan Jimbaran melalui penambahan daya tarik wisata sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru. Harapan utama, dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dari sebelumnya bekerja sebagai buruh, nelayan, pedagang, dan lain-lain, sampai ada yang belum bekerja (pengangguran) dapat beralih profesi di sektor pariwisata. Oleh karena itu, akses jalan menuju Gua Peteng yang sudah sangat baik, perlu ditambah petunjuk arah di jalan umum sehingga memudahkan wisatawan mencapai lokasi. Untuk itu, dibutuhkan promosi terkait kebudayaan dan kesenian di Jimbaran dengan alasan wisatawan dapat menerima pengalaman wisata yang berbeda dengan daya tarik wisata lain. Selain Jimbaran, gua yang dijadikan sebagai daya tarik juga terdapat di Gianyar, yaitu Gua Gajah. Kata “Gua Gajah” dipercaya berasal dari sebuah kata yang muncul di dalam kitab Negarakertagama, Lwa Gajah. Gua ini dibangun sekitar abad ke 11 masehi saat Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten sedang bertahta. Temuan [20] terhadap Gua Gajah di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh pada 2017 tersebut menghasilkan faktor yang menjadi kekuatan dalam mempengaruhi tingkat kunjungan wisayawan adalah keindahan pemandangan, sementara yang menjadi kelemahan adalah kebersihan lingkungan, minim artshop dan homestay. Adapun yang menjadi peluang bagi Gua Gajah adalah peran serta masyarakat yang baik, keamanan lingkungan, kondisi ekonomi, dan kemajuan teknologi. Untuk ancaman sendiri karena kondisi politik, kebijakan pemerintah, dan daya saing. Oleh karena

26 itu dibutuhkan strategi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan terhadap gua kuno yang berjarak sekitar 27KM dari pusat kota Denpasar, seperti penetrasi pasar dan pengembangan produk. Termasuk hasil riset [21], yakni dalam pengembangan Gua Batu Cermin di Kabupaten Manggarai Barat (bagian paling barat Pulau Flores) ternyata masih terhambat karena kurang adanya perawatan, belum ada tempat duduk (berugak) dan mushola, MCK/kamar mandi, infrastruktur transportasi umum, serta kualitas dan kuantitas SDM bidang pariwisata yang masih minim, di samping juga adanya persaingan atraksi wisata lain (di luar Kabupaten Manggarai Barat). Berdasarkan kondisi tersebut, sudah semestinya pengembangan pariwisata di kawasan Gua Batu Cermin difokuskan pada pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis masyarakat dengan dukungan fasilitas dan aksesibilitas. Selain juga dibutuhkan strategi mengembangkan seni tradisional yang ada dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan pengusaha jasa pariwisata, serta meningkatkan koordinasi dengan dinas/instansi untuk menyelenggarakan pembangunan di obyek wisata Gua Batu Cermin.

27 c. Pulau Kecil dan Pantai Dokumen Pribadi Masih terkait dengan daya tarik wisata, di luar pembahasan yang sudah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.90/HK.501/MKP/2010 juga terdapat Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.67/UM.001/MKP/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil. Seperti dijelaskan dalam peraturan tersebut, keberadaan pulau-pulau kecil memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, keunikan biofisik dan kekhasan budaya masyarakat dengan potensi yag besar. Sehingga dapat memanfaatkan potensi sumber daya melalui pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terdapat lebih dari 10.000 pulau yang tergolong pulau-pulau kecil, sangat kecil, dan belum bernama serta tidak dihuni. Potensi yang dimiliki pulau tidak lain adalah

28 perikanan yang didukung ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan hutan bakau. Sehingga menjadi potensi bagi pengembangan wisata bahari. Dengan begitu, maka ada kecenderungan untuk mendatangkan pasar pariwisata secara internasional. Terlebih lagi sudah ada otonomi daerah yang dibuktikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana setiap daerah diwajibkan untuk dapat mengembangkan dan mengelola potensi daerah masingmasing. Namun, untuk pengembangan tetap merujuk pada prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai agama dan budaya lokal, dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak ulayat masyarakat sekitar. Termasuk prinsip berkelanjutan, di mana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumber daya alam, serta tidak bertentangan dengan budaya masyarakat lokal. Dengan kalimat lain ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi, yaitu prinsip keseimbangan dimana pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan konservasi menjadi satu kesatuan untuk pengembangan suatu kegiatan kepariwisataan dan prinsip partisipasi masyarakat untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan usaha pariwisata. Ini pula yang dialami Kawasan Kapoposang di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan gugusan pulau dan terdiri dari enam pulau-pulau kecil yang secara administrasi merupakan bagian wilayah Kecamatan Liukang Tuppabiring. Antara lain Desa Mattiro Ujung dan Desa Mattiro Mattae. Kawasan Kapoposang memiliki kelimpahan sumber daya

29 kelautan dan perikanan, khususnya jasa lingkungan berupa keindahan pantai pasir putih dan terumbu karang beserta ekosistem. Sebagai potensi yang sangat penting bagi pengembangan kawasan di masa depan, khususnya pembangunan kegiatan wisata bahari berbasis konservasi [22]. Sehingga kawasan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) pariwisata; (6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (7) pertanian organik; dan/atau (8) peternakan. Kawasan Kapoposang juga memiliki daya dukung ekologi dengan kondisi terumbu karang yang baik, daya dukung sosial budaya di Pulau Kapoposang, Pulau Papandangan, dan Pulau Gondongbali yang sadar untuk melakukan upaya preservasi ekologi terumbu karang dengan menghindari kegiatan penangkapan ikan yang cenderung merusak dan ilegal, dan daya dukung ekonomi yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai ekonomis sangat tinggi. Pembagian zonasi Kawasan Kepulauan Kapoposang berdasarkan konsultansi publik yang dilakukan oleh DKP (2009) dibagi atas: (1) zona inti di selatan Pulau Kapoposang dan Utara Pulau Suranti untuk aktivitas perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian, dan pendidikan, (2) zona perikanan berkelanjutan di antara Pulau Gondongbali dan Pulau Pamanggangang untuk perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan, (3) zona pemanfaatan terbatas untuk perlindungan

30 habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan, dan (4) zona lain yang merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan dengan fungsi sebagai zona tertentu seperti zona perlindungan, zona rehabilitasi, dan zona peruntukkan lainnya. Kota Pariaman di Provinsi Sumatra Barat ini juga memiliki pulau-pulau kecil dengan karakteristik yang berbeda. Antara lain di Pulau Kasiak terdapat sarana prasarana gapura, pos jaga, dan jalan setapak. Untuk Pulau Angso Duo dilengkapi sarana prasarana pondok wisata, kuburan panjang, mushalla, sumur, jalan setapak, dan toilet. Pulau Tangah sendiri hanya memiliki tempat berkemping dan mata air/sumur. Terakhir Pulau Ujung masih belum memiliki sarana dan prasarana. Seluruh pulau mempunyai tutupan lahan berupa bangunan, kelapa, hutan, dan semak belukar. Untuk dapat mencapai lokasi pulau tersebut mengunakan boad. Dari pulau-pulau kecil tersebut, wisatawan dapat menikmati potensi seperti menyaksikan penangkaran penyu, berkemping, memancing, dan menyelam [23]. Ini tidak terlepas dari konsep Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan jumlah pulau besar dan kecil yang mencapai 17.000 ribu lebih. Sehingga menjadikan wilayah pesisir dan pulau-pulau tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Potensi ini pula yang disediakan oleh wisata pulau-pulau kecil di Kota Makassar. Melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dilakukan [24] diperoleh temuan pulau-pulau kecil yang bisa

31 dijadikan wisata. Antara lain Pulau Samalona (habitat bawah laut, pantai pasir putih, dan pemandangan laut), Pulau Lae-Lae (pemandangan, pantai pasir putih, terowongan bawah tanah, dan kehidupan masyarakat/kearifan lokal), Pulau Kodingareng Keke (habitat bawah laut, pemandangan laut, pantai pasir putih), Pulau Kayangan (pantai pasir putih, pemandangan sekitar pulau, keberadaan pulau yang terdekat dari pusat kota), dan Pulau Lakkang (pemandangan, wisata sejarah, Bunker Jepang, kehidupan masyarakat//kearifan lokal). Berdasarkan potensinya, yang memiliki kategori sudah berkembang adalah Pulau Kayangan, Pulau Samalona, dan Pulau Lae-lae. Sementara yang belum berkembang yaitu Pulau Kodingareng Keke. Untuk Pulau Lakkang masuk kategori hampir punah. Langkah serupa yang dilakukan untuk pengembangan pantai ada di Pantai Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Pantai yang diresmikan pada 2014 lalu ini, ketika menggunakan kapal wisata sebagai sarana transportasi, dapat menuju ke Pulau Tabuhan di Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo dan Pulau Menjangan (pulau kecil yang terletak 5 mil barat laut pulau Bali). Pulau Menjangan ini merupakan bagian dari Taman Nasional Bali Barat dengan luas sekitar 6.000 Ha dengan habitat utama menjangan atau rusa. Selain itu, pulau yang mulai dikenal sejak 1978 ini memiliki terumbu karang dengan kisaran kedalaman 5-40m dengan visibility antara 25-40m. Kapal wisata Katamaran Fiberglass yang disediakan memiliki rute perjalanan Bangsring – Pulau Menjangan – Pulau Tabuhan [25].

32 Untuk itu, diperlukan langkah nyata dari pemerintah setempat untuk mengambil kebijakan yang tepat. Hasil riset yang dilakukan [26] menyatakan kepulauan kecil sangat rentan terhadap pembangunan yang tidak ramah lingkungan, contoh pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jika ditinjau dari indikator kebijakan atraksi, pulau-pulau wisata yang dikelola oleh swasta dapat menerapkan wisata masal. Hal ini bisa dilihat dari karakteristik atraksi yang ada (dikomersialkan, generik, homogen, dan pembangunan ditujukan secara eklusif untuk kunjungan wisatawan dengan tipe wisata pantai dan berjemur). Dari indikator kebijakan tekanan, aspek pembangunan wisata yang terlalu komersial (orientasi hanya peningkatan jumlah pengunjung) di pulau karena dikelola pihak swasta membuat aspek sosial terabaikan. Dimana swasta ingin modal yang diinvestasikan kembali dalam waktu cepat. Lantaran pengelola telah mengivestasikan banyak modal untuk pembangunan infrastruktur pulau seperti darmaga, jalan, hotel, kolam renang, dan lain-lain. Sementara pulau yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah, indikator kebijakan wisata masal hanya bisa dilihat dari elemen musim kunjungan dan permintaan. Ditinjau dari indikator kebijakan struktur ekonomi, pulaupulau wisata yang dikelola oleh swasta menerapkan wisata masal. Karena pembangunan wisata dilakukan secara ektensif dan pembangunan wisata memiliki multiplier effect yang rendah terhadap masyarakat. Berbeda dengan pulau-pulau yang dikelola masyarakat lokal (tidak menerapkan wisata masal), maka

RkJQdWJsaXNoZXIy MTM3NDc5MQ==