i
ii
iii LANGKAH PRAKTIS MENERJEMAHKAN Ina Sukaesih Lenny Brida
iv
v LANGKAH PRAKTIS MENERJEMAHKAN
vi Hak Cipta Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ a tau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ a tau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
vii LANGKAH PRAKTIS MENERJEMAHKAN Ina Sukaesih Lenny Brida Penerbit PNJ Press Anggota APPTI No: 001.004.1.06.2018
viii LANGKAH PRAKTIS MENERJEMAHKAN Ina Sukaesih Lenny Brida Editor Nunung Martina, Mera Kartika Delimayanti Desain Sampul & Tata Letak Dimas Surya Perdana Penerbit PNJ Press Gedung Q, Politeknik Negeri Jakarta, Jl. G.A. Siwabessy, Kampus Baru UI, Depok Cetakan Pertama, November 2021 ISBN : 978-623-7342-76-2 Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
ix PRAKATA Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat-Nya penulisan buku ajar “Langkah Praktis Menerjemahkan” dapat diselesaikan. Buku ajar ini mengenalkan konsep dan pengertian penerjemahan, kaitan budaya dalam penerjemahan, ideologi, metode dan teknik penerjemahan. Kualitas terjemahan yang dapat dianggap sebagai bagian penting dalam terjemahan di uraikan dengan aspek-aspek penilaiannya. Dua unit terakhir membahas tentang pendekatan fungsional penerjemahan dan penyuntingan terjemahan. Edisi ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa tentang penerjemahan dan sedikit memberikan gambaran tentang bagaimana menerjemahkan. Sebagai buku ajar pertama tentang teori penerjemahan diharapkan saran dan kritik pembaca dan pengguna buku sangat diharapkan untuk dapat meningkatkan kualitas dan manfaat buku. Depok, April 2021 Penyusun
x
xi DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN Unit 1 Pengertian Penerjemahan Unit 2 Budaya dalam Penerjemahan Unit 3 Ideologi Penerjemahan Unit 4 Metode Penerjemahan Unit 5 Teknik Penerjemahan Unit 6 Kualitas Terjemahan Unit 7 Pendekatan Fungsional Penerjemahan Unit 8 Penyuntingan Terjemahan Daftar Pustaka Biografi ix xi xii xiii xiv 1 31 43 49 65 81 97 107 123 125
xii DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Model komunikasi Penerjemahan Gambar 1.2 Tiga tahap Proses Penerjemahan Gambar 6.1 Skema House 1997 dan 2015 untuk menganalisis dan membandingkan teks asli dan terjemahan 13 14 84
xiii DAFTAR TABEL Tabel 1 Perbedaan Hasil terjemahan Tabel 7.1 Instrumen Penilaian Aspek Keakuratan Tabel 7.2 Instrumen Penilaian Aspek Keberterimaan Tabel 7.3 Instrumen Penilaian Aspek Keterbacaan 7 87 89 91
xiv DAFTAR SINGKATAN BSa : Bahasa Sasaran BSu : Bahasa Sumber DTP : Desktop Publishing KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia PBK : Penerjemahan Berbantuan Komputer PSM : Penerbitan Semeja SFL : Systemic Functional Linguistics SL : Source Language TL : Target Language TSa : Teks Sasaran TSu : Teks Sumber
xv
xvi
1 Unit I APA ITU PENERJEMAHAN 1.1 Pengertian Penerjemahan Terdapat berbagai macam pengertian penerjemahan dari berbagai pakar ilmu penerjemahan. Secara etimologi, penerjemahan berasal dari Bahasa Arab “Tarjammah” yang berarti mengalihbahasakan suatu bahasa ke bahasa lain. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, terjemah/ menerjemahkan merupakan proses menyalin /memindahakan suatu bahasa ke bahasa lain atau mengalihbahasakan. Salah satu definisi yang diperkenalkan Larson (1984:3) dalam bukunya bahwa“Translation is transferring the meaning of the source language into the receptor language.This is done by going from the form of the first language to the form of a second language Kompetensi yang akan dicapai dari topik ini : 1. Mahasiswa kompeten dalam menjelaskan tentang Pengertian Penerjemahan 2. Mahasiswa kompeten dalam mengidentifikasi istilah-istilah penerjemahan 3. Mahasiswa kompeten dalam membandingkan jenis-jenis penerjemahan
2 by way of semantic structure”. Menurut Larson penerjemahan adalah transfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Lebih lanjut diterangkan proses transfer dilakukan pada bentuk dan struktur semantiknya. Sejalan dengan Larson, Newmark (1988 : 5) mendefinisikan penerjemahan sebagai “…renderring meaning of a text into another language in the way that author intended the text.” Definisi tersebut mengandung arti bahwa penerjemahan merupakan sebuah proses mengalihkan makna sebuah teks ke bahasa lain sesuai dengan maksud penulis teks tersebut. Kemudian pendapat ini juga dilengkapi oleh Bell (1991: 6). Bell mendefinisikan penerjemahan sebagai “the replacement of representation of a text in one language by representation of an equivalent text in second language”. Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa penerjemahan sebagai representasi dari suatu teks (BSu) ke dalam teks yang lain (BSa) dengan memperhatikan kesepadanan makna yang dihasilkan pada teks terjemahannya. Definisi yang juga hampir sama dengan para pakar di atas dijelaskan oleh Catford (1969: 20) yang menyatakan bahwa “translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalance textual material in another language (TL”). Menurut Catford, terjemahan adalah penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber)dengan padanan materi tekstual dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Pendapat ini tidak jauhberbeda dengan pendapat pakar sebelumnya, yaitu penerjemahan mengacu pada pengalihan atau pergantian teks dari satu bahasa ke dalam
3 bahasa yang lain. Pendapat ini lebih menekankan pada pengalihan bentuk bahasa, tetapi kurang memperhatikan segi makna yangharus dialihkan. Definisi berikut ini agak berbeda dari para pakar di atas, yaitu Nida dan Taber (1969: 12) menjelaskan “Translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalance of the source language message, first in terms of meaning and secondlyin terms of style.” Nida dan Taber menjelaskan lebih detail bahwa penerjemahan adalah upaya menghasilkan padanan natural yang paling dekat dari pesan Bsu ke dalam Bsa, pertama dari segi makna dan kedua dari segi gaya. Penerjemahan tidak hanya mengalihkan bentuk bahasa ke bahasa yang lain, tetapi juga memperhatikan aspek makna dan gaya. Pendapat ini menegaskan bahwa persoalan penting dalam penerjemahan adalah mengenai padanan makna dan padanan gaya bahasa. Namun, bentuk bahasa juga tetap dipertimbangkan karena pesan yang dialihkan dari bahasa sumber harus disesuaikan dengan bentuk bahasa di bahasa sasaran. Berikutnya, Bell (1991: 5) menyatakan bahwa “translation is the expression in other language (or target language) of what has been expressed in another, source language preserving semantic and stylisic equivalences.” Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan Nida and Taber, yaitu penerjemahan adalah mengekspresikan makna semantik dan padanan gayadari bahasa sumber ke bahasa sasaran. dengan kata lain, Bell (1991) berpendapat bahwa terjemahan adalah ekspresi dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, dengan
4 mempertahankanaspek padanan semantik dan stylistiknya. Selanjutnya, masalah equivalance dalam penerjemahan berkaitan dengan pemahaman mengenai unit penerjemahan. Zlaveta (2000 dalam Santosa 2009) menjelaskan pula bahwa pada umumnya dalam studi penerjemahan, teks atau analisis wacana menjadi alat fundamental dalam memahami bahasa sumber (Bsa). Hal ini disebabkan, unit dasar dari penerjemahan adalah teks, bukan hanya kata, frasa, atau kalimat. Pandangan ini selanjutnya membawa pemahaman terhadap equivalanve atau kesepadanan. Para ahli dalam studi penerjemahan menyebut istilah equivalance dengan textual equivalance atau kesepadanan teks (lihat juga Robinson 1997; Track 2000; Zlateva 2000; Dimitriu 2000 dalam Santosa 2009). Lebih lanjut, pendekatan SFL menjelaskan bahwa textual equivalance meliputi seluruhaspek yaitu konteks budaya, genre dan register. Textual equivalance dalam hal konteks budaya berkaitan dengan foreignization (forenisasi) dan domestication (domestikasi). foreignization (forenisasi) dan domestication (domestikasi) adalah suatu cara yang dapat digunakan penerjemah untuk menghadapi masalah budaya ketika menerjemahkan. Forenisasi adalah suatu cara yang digunakan untuk tetap menerjemahkan aspek budaya di bahasa sumber (Bsu) tetap dipertahankan di bahasa sasaran (Bsa). Sementara itu, domestikasiadalah suatu cara yang lebih menantang karena penerjemah dapat membawa makna budayadi bahasa sumber (Bsu) lebih dekat ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Textual equivalance dalam hal genre mencakup pilihan genre yang sepadan
5 dengan fungsi sosialnya. Sementara itu, textual equivalance dalam hal register meliputi pilihan kesatuan tiga metafungsi bahasa yang sepadan, yang direalisasikan pada struktur dan tekstur teks yaitu semantik wacana, leksikogramatika, fonologi dan grafologi (lihat Santosa, 2009). Berdasarkan beberapa pendapat mengenai arti penerjemahan di atas, dapat disimpulkanbahwa penerjemahan tidak hanya sekedar mengalihkan satu bahasa ke bahasa yang lain, tetapi juga ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan. Aspek tersebut adalah pemertahanan segi makna dan kesepadanan baik pesan maupun gaya. Maka, yang dialihkandalam proses penerjemahan adalah pesan atau makna bukan bentuk. Namun, bentuk bahasa juga tetap dipertimbangkan. Yaitu, pesan yang dialihkan dari bahasa sumber harus disesuaikandengan bentuk bahasa di bahasa sasaran. Di samping itu, penerjemahan berkaitan dengan textual equivalance (kesepadan teks) yang dalam pendekatan SFL mencakup konteks budaya, genre dan register. Hal ini juga meliputi pemahaman mengenai unit satuan penerjemahan yang menyebut teks sebagai alat fundamental untuk memahami wacana, bukan kata, frasa, klausa maupun kalimat. 1.2 Definisi Penerjemahan dan Permasalahannya Jika ditelaah berbagai definisi yang dirumuskan oleh para pakar penerjemahan di atas, ternyata cukup bervariasi, dimulai dari definisi yang sangat sederhana sampai yang cukup kompleks. Sebenarnya variasi definisi ini dipicu oleh adanya perbedaan
6 perspektif, pendekatan, strategi dan realita sosial dalam merumuskan apa itu penerjemahan. Terdapat sebagian pakar yang menelaah dari perspektif ideologi (foreignisasi vs domestikasi), atau perspektif cara penerjemahan (humanistic translation vs machine translation), sebagian lagi melihat dari orientasi yang digunakan (author centered vs reader centered), dan ada yang melihat dari jenis pendekatan yang digunakan (Sociolinguistic, SFL, or Structuralist linguistics), bahkan sebagian lagi menekankan dari sisi sains yang melatar belakangi (Linguistic science vs Congnitive science). Sebagaimana yang dijelaskan Hatim (1993:17) “Translating involves a conflict of interests, it is all a question of where one’s priorities lie”. Bagi Hatim penerjemahan itu sarat dengan konflik kepentingan, semuanya tergantung pada prioritas individu, misalnya untuk penerjemahan teks kitab suci, kesetiaan terhadap naskah asli adalah sangat penting. Tetapi untuk jenis penerjemahan lain, sisi pembaca bisa saja menjadi perhatian penting. Oleh karenaitu, hasil terjemahan selayaknya disesuaikan dengan pengetahuan pembaca. Di bawah ini dapat dilihat tiga contoh hasil terjemahan cerita “The parable of the labourers in the vineyard” yang menggambarkan perbedaan orientasi terkait nilai tukar mata uang (currency), seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
7 Tabel 1. Perbedaan Hasil terjemahan No Perbedaan Hasil Terjemahan Keterangan 1 For the kingdom of heaven is like a householder whowent out early in the morning to hire labourers into his vineyard. And when he had agreed with the labourers for a penny a day, he sent them into his vineyard. And he went out about the third hour and he saw others......... “For a penny a day” Penerjemahan ini menggunakan pendekatanSimple functional equivalent (token fortoken) 2 For the kingdom of heaven is like a householder whowent out early in the morning to hire labourers for his vineyards. After agreeing with the labourers for a denarius a day, he sent them into his vineyard and going out about the third hour he saw others... “For a denarius a day” Penerjemahan ini meng-gunakan pendekatan Text centered. 1 denarius = 17 pence. 3 The kingdom of heaven is like this. There was oncea land owner who went out early one morning to hirelabourers for his vineyard; and after agreeing to pay them to pay themthe usual day’s wage he send themoff to work. Going out three hours later he saw somemore “The usual day’s wage” Penerjemahan ini menggunakan pendekatan Reader centered. Mata uang
8 men ......... diterjemahkan menjadi the usual day’s wage Sumber diolah : Hatim & Mason 1990. Ketiga hasil terjemahan di atas memiliki orientasi dan strategi yang berbeda, persoalan nilai tukar (currency) tidak bisa diterjemahkan dengan mudah ke dalam Bsa, sebab nilai tukarantar negara memiliki value yang berbeda. Pada hasil terjemahan ke tiga, penerjemah tidak menggunakan jenis nilai tukar baik pada Bsu maupun Bsa, tetapi diterjemahkan menjadi “The usual day’s wage”. Dengan demikian dapat diidentifikasi bahwa penerjemah lebih menekankan pada sisi pembaca (reader). Sebagian definisi penerjemahan lebih menekankan pada aspek “tujuan” penerjemahan, sementara yang lain lebih mempertimbangkan aspek “kepentingan” pembaca Bsa serta memperhitungkan budaya pembaca dalam memahami makna dan tidak memaksakan pola kultural Bsu untuk mengerti pesan pada teks Bsu. Pendapat ini dikemukan oleh Nida sepertiyang dikutip oleh Nord (1997 : 5) sebagai berikut : “A translation of dynamic equivalence aims at complete naturalness of expression, and triesto relate the receptor to modes of behaviour relevant within the context of his own culture, itdoes not insist that he understand the cultural patterns of the sourcelanguage context in order to comprehend the message”.
9 Definisi yang hampir sama dijelaskan juga oleh Catford (1969)dalam Nord (1997: 7)yang menyatakan bahwa “translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalance textual material in another language (TL”). Terjemahan adalahpenempatan kembali materi tekstual dari Bsu ke Bsa dengan materi tekstual yang sepadan. Kedua definisi di atas menurut Nababan (2003:19) adalah definisi yang lemah karena seorang penerjemah tidak akan mungkin dapat menggantikan teks bahasa sumber denganteks bahasa sasaran karena struktur bahasa itu pada umunya berbeda satu sama lain. Materi teks Bsu juga tidak pernah bisa digantikan oleh materi teks Bsa. Bahkan dalam penerjemahanditekankan agar teks Bsa tetap setia dengan isi teks Bsu. Menurut Nord (1997:7) pendekatanlinguistik yang dikemukakan Catford dan Nida lebih berorientasi kepada operasi pemindahan kode (a code switching operation), karena orientasi penerjemahan lebih kepada tujuan pragmatisme, yang fokusnya hanya sekedar memindahkan kata atau frasa menjadi teks sebagai unit terjemahan. Tetapi kemudian dalam perkembangan penerjemahan, pendekatan pragmatic equivalence diasumsikan sering tidak konsisten. Para pakar equivalen cenderung menerima terjemahan non-literal, seperti “teks-teks pragmatik” (misalnya; instruksi penggunaan dan periklanan) dibanding terjemahan karya sastra (literary translation). Adanya standar yang kontradiktif dalam memilih prosedur pemindahan yang berbeda-beda untuk setiap jenis genre dan jenis teks, mengakibatkan pendekatan equivalen agak
10 membingungkan. Reaksi pakar terjemahan terhadap kondisi yang membingungkan ini, Kelly (1979) berpendapat bahwa “ A translator moulds his image of translation by the function, he assigns to language, from function, one extrapolates to nature. Thus those who translate merely forobjective information have define translation differently from those for whom the source texthas a life of his own” ( Nord 1997:8). Kelemahan pendekatan Equivalen mendapat kritikan dari berbagai pihak dan kritikanini ternyata menjadi titik awal bagi para pakar linguistik untuk memulai penelitian linguistik dengan pendekatan “fungsional”, termasuk dalam melakukan penerjemahan. Kritikan ini juga didasarkan pada pengalaman para penerjemah professional yang mengungkapkanbahwa pendekatan equivalen tidak bisa diimplementasikan secara keseluruhan ketika melakukan terjemahan dan rekonstruksi makna dari Bsu ke Bsa. Katharina Reiss sebagai seorang penerjemah professional dari Jerman memperkenalkan pendekatan “Functional Category” dalam mengkritisi pendekatan terjemahan equivalen. Sebagai seorang penerjemah yang berpengalaman Reiss membuktikanbahwa penerjemahan equivalen tidak mungkin dilakukan. Menurut Reiss seperti yangdikutip Nord (1997:9) “The ideal translation would be one in which the aim in the TL (targetlanguage) is equivalence as regards the conceptual content, linguistic form and communicative function of a SL (Source Language) text. Bagi Reiss penerjemahan yang ideal adalah apabila tujuan dalam Bsa dipandang equivalen
11 dalam tiga aspek, yaitu “isi konseptual,bentuk linguistik dan fungsi komunikasi” dalam Bsu. Reiss memberi nama pendekatan ini dengan sebutan “Integral Communicative Performance” Lebih tegas pakar penerjemahan lain; Hans J. Vermeer (1987) dalam Nord (1997:10)menyatakan bahwa dengan ilmu linguistik saja, tidak akan bisa membantu seorang penerjemah. Alasannya adalah menerjemahkan bukan hanya sekedar proses linguistik dan linguistik belum mampu menjawab permasalahan penerjemahan. Vermeer juga menjelaskan bahwa : “One of the most important factors determining the purpose of a translation is the addressee who is the intended receiver or audience of the target text with their culture, specific world, knowledge, their expectation and their communicative needs (Nord 1997:12).Menurut Vermeer tujuan yang terpenting dalam terjemahan adalah si “pembaca” yang tentusaja harus dipertimbangkan persoalan budaya, lingkungan, pengetahuan, ekspektasi dan kebutuhan komunikasi si pembaca. 1.3 Model Komunikasi Dalam Teknik Pemindahan Makna Jika dicermati tahapan proses penerjemahansama dengan tahapan proses komunikasi. Sebagai proses komunikasi, penerjemahan mempunyai tujuan komunikatif, yang ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber sebagai komunikator, penerjemah adalah mediatornya, dan pembaca teks bahasa sasaran sebagai penerima informasi adalah receiver/adressee. Penetapan tujuan komunikatif sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks Bsu, penerjemah, dan pembaca teksBsa .
12 Menurut Nord (1997:15) interaksi komunikasi manusia terjadi dalam situasi yang dibatasioleh waktu dan ruang. Hal ini berarti situasinya memiliki dimensi historis dan kultural dalam bentuk prilaku verbal maupun non-verbal, dibatasi oleh ekspektasi, pengetahuan dan penilaian(appraisal) para komunikan, juga dibatasi oleh sudut pandang (standpoint) komunitas budaya dimana mereka berada. Apabila sender dan receiver berasal dari komunitas budaya yang berbeda, maka komunikasi mereka memerlukan perantara (intermediary) yang memungkinkanmereka untuk berkomunikasi melewati batas waktu dan ruang. Oleh karena itu, penerjemah berperan penting untuk mengembangkan komunikasi yang terjadi antara anggota komunitas yang berbeda budaya.Penerjemah dapat menjembatani kesenjangan (gap) antara berbagai perbedaan prilaku baik verbal maupun nonverbal, perbedaan ekspektasi, pengetahuan, dan perspektif yang mengakibatkan sender dan receiver tidak mungkin berkomunikasi secara efektif. Dengan demikian, penerjemah memiliki peran ganda yaitu sebagaireceiver sekaligus sender atau komunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis ke pembaca. Dalam menjalankan peran gandanya, seorang penerjemah selayaknya mampu meminimalisir unsur subyektivitas. Untuk itu setiap penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan (Machali, 2000:104). Sejalan dengan penjelasan di atas, Nida dan Taber (1969: 12) berpendapat bahwa penerjemahan adalah proses reproduksi padanan
13 natural yang paling dekat dari pesan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, baik dari dimensi makna maupun dimensi gaya bahasa. ( “Translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalance of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style” ). Dengan demikian model komunikasi dalam penerjemahan tidak hanya sekedarmengalihkan pesan dari teks Bsu ke dalam teks Bsa, tetapi bagaimana penerjemah merekonstruksi dan mengungkapkan kembali pesan yang serupa, baik dalam hal makna maupundari sisi gaya bahasa. Dengan kata lain, seorang penerjemah dapat dianggap sebagai komunikator yang berhasil apabila respon pembaca Bsasetara/sama dengan respons pembaca Bsu, akan tetapi jika pengalihan pesan tidak akurat, atau tidak berterima, maka akan terjadi gangguan “noise” atau distorsi komunikasi. Model komunikasi dalam penerjemahan, alurnya dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 1.1 Model komunikasi Penerjemahan
14 Berdasarkan gambar model komunikasi di atas, dapat dipahami bahwa proses komunikasi penerjemahan memang cukup unik. Dalam hal ini, penerjemah memiliki peran ganda, yaitu sebagai “receiver pesan” dari penulis sekaligus sebagai “sender pesan” ke pembaca. 1.4 Proses Penerjemahan Proses penerjemahan terdiri dari tahapan-tahapan yang sistematis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nida (1975: 80) bahwa proses penerjemahan memiliki 3 (tiga) tahapan yaitutahap ananalisis (analysis), tahapan transfer (transfering), dan 3) tahapan penyusunan kembali (restructuring). Tiga tahapan proses penerjemahan dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 1. 2 Tiga tahap Proses Penerjemahan Sumber: Nida and Taber (1975) Lebih rinci Nida dan Taber (1982:33) menjelaskan apa saja yang harus dikerjakan oleh seorang penerjemah pada tiap tahapan proses, seperti yang dijabarkan pada tahapan di bawah ini :
15 1. Analysis, in which the surface structure (i.e.the message as given in language is analysed in terms of (a) the grammatical relationship and (b) the meaning of the words and combination of words. 2. Transfer, in which the analysed material is transfered in the mind of the translator from language A to language B, and 3. Restructuring, in which the transfered material is restructured in order to make final message fully acceptable in the receptor language.” Pada tahap awal yang dilakukan dalam proses penerjemahan adalah “tahap analisis” teks Bsu. Analisis ini mencakup dua aspek, yaitu mencari pesan yang disampaikan pada Bsumelalui hubungan gramatikal dan mengetahui padanan maknabahasa beserta kombinasinya. Pada tahap awal ini, seorang penerjemah harus memiliki kemampuan berbahasa yang baik, meliputi struktur gramatikal dari yang paling sederhana sampai yang kompleks yaitu kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf dan teks. Disamping itu, seorang penerjemah juga harus memiliki pemahaman makna dan mengetahui padanannya agar dapat memahami teks secarautuh. Pada tahapkedua yaitu“tahap transfer” dilakukan dengan cara mengalihkan makna dan pesan dari Bsu ke Bsa. Pada tahap ini, seorang penerjemah dituntut untuk memahami padanan makna. Proses pencarian padanan makna/pesan ini terjadi dalam pikiran penerjemah, yang kemudian makna/pesan diungkapkan kembali ke dalam Bsa.
16 Pada tahap ketiga yaitu“tahap penyusunan kembali”(restructuring) dilakukan dengan cara menyelaraskan kembali makna/pesan yang telah dicari padannya. Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan pesan dan makna yang berterima sesuai Bsa. Sejalan dengan ini, Nababan (2003 : 28) menjelaskan bahwa pada tahap penyelarasanseorang penerjemah perlu memperhatikan ragam bahasa untuk menentukan gaya bahasa yang sesuai dengan jenis teks yang diterjemahkan dan penerjemah juga perlu memperhatikanuntuk siapa terjemahan itu ditujukan. 1.5 Istilah-istilah Penerjemahan Di bawah ini adalah beberapa istilah yang umumnya digunakan oleh agensi penerjemahan: 1. Penerjemah Penerjemah mengubah teks yang ditulis dalam satu bahasa kedalam bahasa lain. Mereka hanya berurusan dengan media tertulis. Penerjemahan lisan dilakukan oleh penerjemah lisan/interpreter. 2. Terjemahan teknis Terjemahan teknis mengacu ke kebutuhan akan penerjemah spesialis karena penggunaan kosakata yang tidak umum dalam suatu teks. Topik seperti kedokteran, keuangan, hukum, teknik, perangkat lunak, pedoman, dll, semuanya akan dianggap teknis.
17 3. Pemeriksaan Aksara (Proofreading) Pemeriksaan Aksara mengacu ke revisi, pemeriksaan dan penyuntingan teks yang telah diterjemahkan. Setelah terjemahan selesai, biasanya penerjemah kedua akan membaca seluruh dokumen tersebut dan membandingkannya dengan dokumen aslinya. Selain memeriksa kualitas terjemahannya, mereka juga memeriksa ejaan, tata bahasa dan sintaks. 4. Terjemahan resmi Terjemahan resmi adalah dimana agensi penerjemahan atau penerjemah lepas melakukan pekerjaan penerjemahan kemudian menyatakan fakta bahwa mereka melakukan pekerjaan tersebut dalam bentuk keterangan atau tanda tangan pendamping. Terjemahan resmi biasanya diperlukan untuk dokumen resmi. 5. Penerjemahan (Translation) Penerjemahan merupakan kegiatan terjemah atau mentafsirkan sesuatu kalimat atau paragraf dari Bahasa Asli (misal bahasa Inggris) menjadi bahasa lain yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai contoh bahasa Inggris – Indonesia. Atau sebaliknya. 6. Interpreting / penjuru bahasaan Merupakan kegiatan mentafsirkan sesuatu perkataan dari nasasumber yang memiliki Bahasa native yang berbeda dengan audience/ pendengar, agar dapat dipahami oleh orang yang menjadi Audience/pendengar secara live. 7. Weblocalizing
18 Weblocalizing merupakan kegiatan yang dilakukan oleh jasa terjemah bahasa dalam menterjemahkan isi dalam website kedalam bahasa lokal yang bisa dibaca dan dipahami oleh para pembaca local agar kegiatan pemasaran berlansung lebih lancar. 8. Transcreation Istilah yang digunakan terutama oleh para professional periklanan dan pemasaran yang bertujuan untuk merujuk pada proses adaptasi pesan dari satu bahasa ke bahasalainnya, dengan mempertahankan niat, gaya, nada dan konteksnya. 9. PBK - Penerjemahan Berbantuan Komputer Tidak semua penerjemahan dilakukan oleh penerjemah manusia. Karena kemajuan teknologi, perangkat lunak komputer sekarang dapat melakukan atau membantu penerjemahan. PBK menunjukkan penggunaan perangkat lunak tersebut bersama dengan penerjemah. Alat tersebut umumnya digunakan untuk mengelola terminologikhusus terkait dengan bidang dimaksud ditambah memori terjemahan. 10. Penulisan Naskah Iklan (Copywriting) Penulisan naskah iklan mengacu ke penulisan teks yang akan digunakan pada brosur, situs web, naskah publisitas dan sejenisnya. Naskah tersebut tidak selalu diterjemahkan dengan baik karena biasanya ditulis untuk negara tertentu. Ada baiknya memiliki naskah untuk negara asing yang ditulis oleh para ahli dari negara tersebut. 11. Tenggat Waktu Tenggat Waktu: selalu terlalu singkat bagi penerjemah/agensi
19 penerjemahan dan selalu terlalu lama bagi klien. Tenggat waktu mengacu ke waktu dimana terjemahanharus diserahkan kepada klien. Kebanyakan penerjemah memilih untuk menerjemahkan sekitar 1500 kata per hari. Hal ini memberikan mereka waktu yang cukup untuk melakukan penelitian dan pemeriksaan. Klien seharusnya menyadari apa yang disebut realistis. Mendatangi agensi penerjemahan dan memintanya untuk menerjemahkan 100,000 kata dalam waktu 24jam adalah hal yang mustahil. Klien harus selalu berpikir kedepan jika memerlukan penerjemahan teks. 12. PSM - Penerbitan Semeja (Desktop Publishing/DTP) PSM atau PSM multibahasa ditawarkan oleh sebagian agensi penerjemahan. Inillah dimana ahli PSM dapat menggunakan font asing untuk hal-hal seperti pengesetan, penciptaan berkas gambar, brosur, laporan perusahaan, dll. Singkatnya, PSM multibahasa menggunakan bahasa asing untuk karya seni. 13. Penerjemahan gratis Istilah "penerjemahan gratis" adalah kata-kata yang paling banyak diketik dalam istilah pencarian untuk mesin pencari seperti Google. Penerjemahan gratis dilakukanoleh perangkat lunak yang menerapkan penerjemahan harfiah pada teks yang diketikkan kedalamnya. Seringkali perangkat lunak tersebut menghasilkan kalimat aneh namun terkadang memberikan inti satu atau dua kalimat.
20 14. Penerjemah lepas Kebanyakan agensi penerjemahan menggunakan penerjemah lepas. Pekerja lepas bertindak sebagai entitas mandiri dan tidak dianggap sebagai karyawan. Namun, banyak agensi penerjemahan yang membangun hubungan baik dengan staf lepasnya sampai taraf tertentu dimana mereka semata-mata bekerja untuk agensi tersebut. 15. Daftar Istilah Daftar istilah adalah kamus khusus satu bahasa yang digunakan oleh penerjemah yang mengerjakan teks sulit dengan terminologi khusus. Daftar istilah mencakup suatu istilah dan definsinya dalam bahasa sasaran. Untuk teks yang sangat khusus, klien kadang-kadang diminta untuk menyediakan daftar istilah untuk memastikan agar terjemahannya memenuhi kebutuhan mereka. 16. Salinan keras Salinan keras mengacu ke format sumber dokumen yang memerlukan terjemahan. Salinan keras biasanya berupa kertas seperti faks, surat dan brosur. Salinan keras lebih sulit untuk dikerjakan baik bagi agensi penerjemahan maupun penerjemah. Agensi tidak dapat menghitung jumlah kata sumber dan penerjemah tidak dapat menimpa teks sumbernya. 17. Penerjemah manusia Penerjemah manusia adalah manusia. Istilah ini digunakan untuk membedakanantara orang nyata yang melakukan penerjemahan dan komputer.
21 18. Terjemahan hukum Terjemahan hukum bisa menjadi rumit karena arti pentingnya sebagai dokumen danterminologi sebenarnya yang digunakan. Untuk alasan ini terjemahan hukum, sepertiterjemahan hukum bahasa Italia, dikenakan tarif premium karena melibatkan penerjemah dengan pengetahuan khusus dan barangkali penelitian. 19. Terjemahan harfiah Terjemahan harfiah hanya memberikan terjemahan kata per kata dari teks aslinya. Terjemahan harfiah tidak mengindahkan halhal seperti humor, peribahasa, plesetan, dll dan sebagai akibatnya terkesan kaku dan tidak wajar. Terjemahan harfiah harus dihindari sebisa mungkin. 1.6 Jenis-jenis Penerjemahan Menurut Hartono (2017:17) penggolongan jenis-jenis penerjemahan oleh para pakar penerjemahan ternyata cukup bervariasi. Beberapa penerjemah memasukkan jenis-jenis penerjemahan ke dalam metode penerjemahan, sementara prosedur penerjemahan dimasukkan ke dalam teknik penerjemahan. Beberapa penggolongan yang dibuat oleh pakar penerjemahan diantaranya Larson (1991) memasukkannya ke dalam jenis-jenis penerjemahan (kinds of translation), sementara Newmark (1988:45) memasukkan penerjemahan harfiah dan Idiomatis ke dalam metode penerjemahan (translation method).
22 Selain itu, Molina dan Albir (2002) dan Moentaha (2006) memasukkan penerjemahan harfiah ke dalam teknik penerjemahan, sedangkan Vinay dan Darbelnet (2002) dalam Molina dan Albir (2002) mengelompokkannya ke dalam prosedur penerjemahan (translation procedure) (p. 499). Jakobson dan Venuti menggolongkan terjemahan ke dalam tiga jenis: (1) terjemahan intralingual atau rewording, yakni interpretasi tanda verbal dengan menggunakan tanda lain dalam bahasa yang sama; (2) terjemahan interlingual atau translation proper, merupakan interpretasi tanda verbal dengan menggunakan bahasa (Bahasa bahasa) lain; dan (3) terjemahan intersemiotik atau transmutation, yakni `interpretasi tanda verbal dengan tanda dalam sistem tanda non-verbal (Jakobson dalamVenuti, 2000: 114). Jenis penerjemahan pertama, penerjemahan “intralingual” menyangkut proses menginterpretasikan tanda verbal dengan tanda lain dalam bahasa yang sama. Dalam penerjemahan jenis yang kedua (interlingual translation) tidak hanya menyangkut mencocokkan/membandingkan simbol, tetapi juga padanan kedua simbol dan tata aturannya atau dengan kata lain mengetahui makna dari keseluruhan ujaran. Terjemahan jenis ketiga yakni transmutation, menyangkut pengalihan suatu pesan dari suatu jenis sistem simbol ke dalam sistem simbol yang lain seperti lazimnya dalamAngkatan Laut Amerika suatu pesan verbal bisa dikirimkan melalui pesan bendera dengan menaikkan bendera yang sesuai dalam urutan yang benar (Nida, 1964: 4).
23 Jenis terjemahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terjemahan interlingual atautranslation proper. Sementara Larson dalam Choliluddin (2005: 22) mengklasifikasi terjemahan dalam duatipe utama, yakni terjemahan berdasarkan bentuk (Form-based translation) dan terjemahan berdasarkan makna (Meaning-based translation). Terjemahan berdasarkan bentuk, cenderung mengikuti bentuk bahasa sumber yang dikenal dengan terjemahan harfiah, sementara terjemahan berdasarkan makna cenderung mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber dalam bahasa sasaran secara alami. Terjemahan tersebut dikenal dengan terjemahan idiomatik. Berikut ini dijelaskan jenis-jenis penerjemahan yang berada di luar pengelompokan yangtermasuk ke dalam metode, prosedur dan teknik (Hartono, 2017: 11-14). 1. Penerjemahan Dinamik Penerjemahan dinamik diperkenalkan oleh Nababan, (2003) dan menyatakan penerjemahan ini disebut juga penerjemahan wajar (pp. 33-34). Dalam prosesnya,amanat Bsu dialihkan dan diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan yang lazim ke dalam Bsa. Segala sesuatu yang berbau asing atau kurang bersifat alami, baik berkaitan dengan konteks budaya maupun pengungkapannya sedapat mungkin dihindari dalam Bsa. Berikut adalah contoh penerjemahan dinamik:
24 Tsu : The author has organized this book since 1995. Tsa1: Penulis telah mengorganisasi buku ini sejak 1995. (Terjemahannya tidak lazimkarena masih berbau asing dengan menggunakan kata mengorganisasi) Tsa2: Penulis telah menyusun buku ini sejak 1995. (Terjemahannya lazim) 2. Penerjemahan Pragmatik Soemarno (1983) mengemukakan bahwa fokus penerjemahan pragmatik terletak pada ketepatan informasi yang disampaikan oleh Tsu (pp. 25-26). Penerjemahan ini tidak begitu memperhatikan aspek-aspek kebahasaan Tsu. Contoh dari terjemahan pragmatik ini dapat kita jumpai dalam bentuk dokumen-dokumen teknik. Dokumen-dokumen teknik ini berguna bagi para ahli mesin untuk dibaca sebagai instruksi manual, misalnya pada saat mereka akan merakit mesin. Di samping itu Nababan (2003) menambahkan bahwa penerjemahan pragmatik mengacu pada pengalihan amanat dengan mementingkan 12 ketepatan penyampaianinformasi dalam Bsa yang sesuai dengan informasi dalam Bsu (p. 34). Penerjemahan ini tidak begitu memperhatikan aspek bahasa dan estetik Bsu. Contoh terjemahannya dapat kita lihat dalam terjemahan dokumen-dokumen teknik dan niaga yang lebih mengutamakan informasi dan fakta. Berikut adalah contoh terjemahan pragmatik dari sampul iklan sabun anak.
25 Tsu : Master Kids Shower Gel formulated with Triclosan, Aloe Vera Extract, D- Panthenol and Vitamin E to make your skin clean, fresh, soft, and stay healthy. Lather onto wet body, rinse well. Use under adult supervision. Store in a cool & dryplace. No direct sunlight. Tsa : Sabun Mandi Master Kids yang diformulasikan dengan Triclosan, Ekstrak AloeVera, D-Panthenol dan Vitamin E. Kulitmu jadi bersih, harum, lembut, dan tetap sehat. Usapkan pada tubuh hingga berbusa, bilas hingga bersih. Ajarilah anak Anda untuk menggunakannya dengan benar. Simpan di tempat kering dan tidak terkena sinar matahari langsung. Setelah dianalisis, dari kata ‘Sabun‘ hingga ‘sehat‘ bukanlah kalimat yang baik danbenar karena rangkaian itu belum menjadi kalimat majemuk yang utuh. Maka dari itu sebaiknya pada Tsa disisipkan kata kerja ‘menjadikan‘ atau ‘membuat‘ di antara‘Vitamin E‘ dan ‘Kulitmu‘, sehingga menjadi kalimat majemuk bertingkat yang benar: ‘Sabun Mandi Master Kids yang diformulasikan dengan Triclosan, Ekstrak Aloe Vera, D-Panthenol dan Vitamin E membuat kulitmu jadi bersih, harum, lembut,dan tetap sehat. 3. Penerjemahan Aestetik-poitik Soemarno (1983) berpendapat bahwa penerjemahan estetik-puitik (aesthetic-poetic translation) adalah penerjemahan yang sangat memperhatikan aspek-aspek keindahan, aspek-aspek perasaan, emosi, perasaan haru, dan sebagainya (pp. 25-26). Seorang
26 penerjemah estetikpuitik harus mampu mengungkapkan kembali aspek- aspek tadi dari Tsu ke dalam Tsa. Jenis penerjemahan ini dapat kita temui pada terjemahan karyakarya sastra. Seorang penerjemah karya sastra harus berusaha tidakhanya mempertahankan isi tetapi juga aspek-aspek keindahannya. Itulah sebabnya penerjemahan estetik-puitik disebut juga penerjemahan sastra, misalnya penerjemahan puisi, prosa dan drama yang sangat menekankan konotasi emosi dan gaya bahasa. Berikut ini adalah contoh penerjemahan estetikpuitik dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris: 13 Tsu : Di luar salju terus. Hampir pagi. Tubuhmu terbit dari berahi. Angin menembus.Hilang lagi. Nafasmu membayang dalam dingin. Mencari. (Bagian dari sajak Gunawan Muhamad, berjudul Ranjang Pengantin Kopenhagen dalam Machali (2000:80)). Tsa : Outside snow falls. Almost morning. Your body shaped in sensual feeling. Thewind pierces. And is clearing. Your breath a shadow in the cold. Searching. (Terjemahan Harry Aveling dalam Machali, 2000, 81). Jika kita analisis, penerjemahan di atas sangat memperhatikan keindahan bahasa. Penerjemah berusaha mempertahankan rima Tsu yang memiliki rima a-a-a-a dengan bunyi [ɪ] ke dalam Tsa yang memiliki rima aa-a-a dengan bunyi [ŋ]. Aspek perasaandan emosi pun tampak dalam pilihan kata yang memiliki padanan serasi antara Tsu dan Tsa, misalnya frase ‘berahi‘ diterjemahkan sensual feeling
27 dan ‘angin menembus‘ diterjemahkan menjadi the wind pierces. 4. Penerjemahan Etnografik Soemarno (1983) mengemukakan bahwa tujuan penerjemahan etnografik adalah menjelaskan konteks-konteks budaya dari Bsu dan Bsa. Penerjemah harus peka terhadap perbedaan pemakaian katakata yang mempunyai bentuk dan arti yang mirip dalam suatu bahasa (p. 26). Dia harus menemukan kata-kata yang cocok dalamBsa untuk mengungkapkan masalah-masalah kebudayaan yang terbatas dalam Bsu. Nababan (2003) memberi contoh tentang penggunaan yang berbedabeda antara katayes dan yea dalam bahasa Inggris Amerika (pp. 3334). Penerjemah harus mampu menemukan padanannya dalam Bsa. Hal ini akan sukar dilakukan apabila suatu kataBsu ternyata belum atau tidak mempunyai padanan dalam Bsa, yang disebabkan oleh berbedanya budaya pemakai kedua bahasa. Kata ‘delman‘ dan ‘bemo‘ itu tetap ditulis dalam bahasa Indonesia. Kemudian penerjemah memberi keterangan dalam bentuk catatan kaki (footnotes) tentang arti dari kata tersebut, misalnya untuk kata ‘delman‘ diberi keterangan two-wheeled buggy, ‘bemo‘ diberi keterangan small motorized vehicle used for public transportation. Cara ini dianggap paling tepat dalam mengatasi ketiadaan padanan kata Bsu dalam Bsa yang disebabkan oleh budaya kedua bahasa itu berbeda satu sama lain.
28 5. Penerjemahan Linguistik Nababan (2003) berpendapat bahwa penerjemahan linguistik adalah penerjemahan yang hanya berisi informasi linguistik yang implisit dalam Bsu yang dijadikan eksplisit dalam Bsa (p. 37). Hal ini terjadi karena sebuah kalimat misalnya, berbentuk kalimat taksa (ambiguous sentence) yang memiliki struktur lahir (surface structure) yang sama namun struktur batinnya (deep structure) berbeda. Sebelum diterjemahkan, kalimat tersebut harus ditransformasi balik atau dianalisis komponennya terlebih dahulu, sehingga kalimat tersebut dapat dipahami dengan baik. Berikut adalah contoh dua kalimat taksa yang memiliki struktur lahir yang sama tetapi mempunyai struktur batin yang berbeda. Dalam bentuk struktur lahir kedua kalimat tersebut adalah: 1. John is willing to help. 2. John is difficult to help. Jika dilihat secara sekilas, John pada kedua kalimat tampak seperti memiliki perananyang sama, padahal jika dianalisis secara linguistik John pada kalimat ke-1 adalah pelaku (doer) aktivitas untuk kata kerja to help, sedangkan John pada kalimat ke-2 adalah penderita (patient) untuk kata kerja to help, sehingga jika ditransformasi ke dalam struktur batin kedua kalimat tersebut menjadi: 1. John is willing to help someone. 2. John is difficult for someone to help.
29 Jika kedua kalimat tersebut sudah ditransformasi, maka penerjemah akan mudah menerjemahkannya. Beberapa kemungkinan hasil terjemahannya adalahsebagai berikut: 1. a. John rela menolong seseorang (struktur batin). b. John rela menolong (struktur lahir). 2. a. John sulit bagi seseorang untuk menolong (struktur batin). b. John sulit ditolong seseorang (struktur batin). c. John sulit ditolong (struktur lahir). Setelah diamati dari beberapa jenis penerjemahan di atas, jenis penerjemahan yang selama ini banyak muncul dalam penerjemahan karyakarya sastra, diantaranya novel, adalah jenis penerjemahan estetik-puitik karena jenis penerjemahan ini lebihmengutamakan keindahan dan rasa bahasa. Jenis penerjemahan ini memperhatikan penerjemahan aspek stilitik dan sosiobudaya dalam Bsu dan Bsa. Gaya-gaya bahasaseperti metafora dan personifikasi diterjemahkan dari Tsu dengan cara mencari bentuk yang sepadan dalam Tsa. Demikian pula istilah-istilah yang berkaitan dengan sosiobudaya seperti idiom dan nama diri diterjemahkan dengan istilah-istilah yang sepadan dalam kedua bahasa itu. 1.7 Latihan-latihan Setelah membaca teks di atas, jawablah pertanyaan berikut ini : 1). Jelaskan tentang pengertian penerjemahan dari berbagai pakar
30 pada teks di atas.Bandingkan kesamaan dan perbedaan definisi yang mereka miliki? 2). Menurut Anda mengapa terjadi perbedaan pada definisi/pengertian yang merekarumuskan ? 3). Carilah masing-masing istilah penerjemahan yang belum tercantum di atas. 4). Carilah contoh untuk masing-masing jenis penerjemahan baik Bsu maupun Bsa danpresentasikan di kelas hasilnya. 1.8 Evaluasi Tulis pendapat Anda tentang pentingnya penerjemahan dalam era digital.
31 Unit 2 PENERJEMAHAN DAN BUDAYA 2.1 Pengertian Budaya Budaya sering didefinisikan sebagai segala sesuatu hasil budi daya manusia, namun definisi ini terlalu luas jika digunakan dalam hal penerjemahan, karena penerjemahan terkait erat dengan bahasa, maka akan lebih praktis jika definisi ini juga dikaitkan denganbahasa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Newmark (1988:94) bahwa budaya (culture) dipandang sebagai “the way of life and its manifestations that are peculiar to a communitythat uses a particular language as its means of expression.” Definisi Newmark ini difokuskan pada aspek terjemahan, ia memandang budaya sebagai cara hidup yang wujudnya khas untuk masing-masing masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu sebagai alat pengungkapannya. Kompetensi yang akan dicapai dari topik ini : 1. Mahasiswa kompeten dalam menjelaskan tentang aspek Budaya dalamPenerjemanahan 2. Mahasiswa kompeten dalam mengidentifikasi Budaya dalam penerjemahanTeks Bisnis, sosial dan pemerintahan 3. Mahasiswa kompeten dalam membandingkan Budaya Bahasa Sumber danBahasa Sasaran.
32 Lebih lanjut untuk membedakan kekhasan budaya ini, Newmark (1988) membandingkan antara artefak (material) dari bahasa yang bersifat universal, kultural, dan personal. Contoh: 1) Ungkapan yang mengandung makna “mati” (die) terdapat pada semua bahasa di dunia, ini menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan ungkapan yang universal. 2) Ungkapan yang memperlihatkan “musim hujan” (monsoon), “padang rumput” (steppe) adalah kata-kata budaya karena tidak semua bahasa memiliki ungkapan tersebut disebabkan artefak sebagai referensinya tidak terdapat dalam budayanya,dalam hal ini aspek geografis menentukan bahasa. Definisi serupa juga diberikan oleh Hoed (2006:79) ia juga mendeskripsikan kebudayaan sebagai: … cara hidup (way of life) yang perwujudannya terlihat dalam bentuk prilaku serta hasilnya terlihat secara material (disebut artefak), yang diperoleh melalui pembiasaan dan pembelajaran dalam suatu masyarakat dan diteruskan dari generasi ke generasi. Jika diamati definisi ini hampir menyerupai terjemahan dari definisi Newmark di atas, perbedaannya, Hoed menambahkan bahwa pemerolehannya melalui pembelajaran dalam masyarakat antar generasi. Hal ini juga menjadi pembeda budaya dengan penguasaan atau prilaku yang muncul secara naluriah tanpa proses belajar. Menurut Newmark (1988:95) yang terkait dengan aspek
33 budaya itu meliputi antara lain istilah yang terkait dengan ekologi (lingkungan geografi), budaya material (artefak) termasuk makanan, budaya sosial (pekerjaan dan kesenangan), organisasi, kota, kebiasaan, prosedur konsep, dan bahasa tubuh (gesture). Aspek budaya karena kekhasannya tidak jarang menjadi sumber permasalah dalam penerjemahan. Seperti yang disebutkan oleh Newmark di atas, bahwa artefak yang ada pada suatu bahasa tidak selaluada pada bahasa lain sehingga penerjemah kesulitan dalam mengusahakan padanannya. Untuk mengatasi perbedaan tersebut penerjemah biasanya melakukan strategi tertentu yang terlihat pada teknik penerjemahannya. Misalnya teknik deskripsi dengan menambahkan informasi pada teks terjemahannya. Informasi yang tidak ada dalam teks Bsu bisa ditambahkan ke dalam teks Bsa agar pembaca lebih memahami maksud teks terjemahan. Tambahan ini menurut Newmark (1988:91) biasanya bersifat kultural (terkait perbedaan budaya Bsu dan budaya Bsa), teknis (yang terkait dengan topik bahasan teks),atau linguistik (untuk menjelaskan penggunaan kata yang tidak taat asas). Tambahan informasi ini bisa ditempatkan dalam teks (dengan meletakkannya dalam tanda kurung) atau di luar teks, misalnya dengan catatan kaki atau anotasi. Catatan kaki sering digunakan sebagai penjelasan tambahan untuk konsep-konsep khusus budaya serta untuk tujuan keterbacaan (Baker, 1992). Penambahan informasi juga diperlukan guna menghindari ketaksaan, untuk memperjelas sesuatu yang implisit, serta karena
34 terjadinyapergeseran bentuk dan perubahan kelas kata (Nida, 1964). Kemudian terkait dengan jenis teks, ilmu sejarah merupakan salah satu bagian dari ilmu sosial. Sebagai bagian dari ilmu sosial tak jarang dalam teks ini juga melibatkan beberapa istilah terkait dengan hukum, antropologi, geografi dan ilmu sosial lainnya. Penerjemahan teks ilmu sosial memiliki beberapa karakter khusus jika dibandingkan dengan penerjemahan teks ilmu alam dan teknologi. Heim & Tymowski (2006: 3-4) mengatakan bahwa kedua teks tersebut sama-sama butuh penguasaan bidang ilmu. Namun, teks ilmu alam lebih terkait dengan fenomena alam dan ukuranukurannya, sehingga 47 pilihan kata cenderung dapat dibedakan, kering (tanpa dipengaruhi ideologi),dan jarang terdapat ambiguitas. Sehingga tak jarang teks ilmu alam dan teknologi ini dapat diterjemahkan dengan mesin penerjemah. Lebih lanjut, teks ilmu alam memiliki sifat generalitas yang tinggi dan berlaku secara universal. Sementara, teks ilmu sosial walaupun juga mengarah pada generalitas, cenderung dibatasi oleh pandangan politik, sosial, dan konteks budaya Lebih lanjut, istilah dalam ilmu sosial sangat bersifat kontekstual. Sesuai pendapat Heim & Tymowski (2006: 4) bahwa “The act of applying social science terms developedin one context to another context may spawn misleading translations since their conceptual reach may differ in different contexts.” Artinya perbedaan konseptual terhadapsuatu istilah ilmu sosial pada konteks berbeda dapat menyebabkan kesalahan padapenerjemahan. Ia memberikan contoh konsep ”customs” pada masyarakat China
35 akan berbeda dengan konsep yang dimiliki oleh orang Eropa. Contoh lain dari buku TMRDR misalnya, konsep”village” bermakna desa atau kampung. Namun, konsep ini pada masyarakat Minangkabau memiliki makna berbeda dengan ”desa” yang dipahami secara umum di Indonesia karena adanya hubungan kekerabatan dalam wilayah tersebut. Penerjemah lebih memilih menggunakan kata lokal, yaitu ”nagari” agar juga memberi kesan dan konsep berbeda bagi pembaca. Artinya, beberapa pilihan kata sangat dipengaruhi oleh konteks budaya masyarakat pembaca. Penggunaan terjemahan yang langsung dari kamus terkadang tidak dipahami sama seperti yang dimaksudkan pada Tsu. Pengambilan keputusan dalam proses penerjemahan sangat dipengaruhi oleh kompetensi kebahasaan, tekstual, penguasaan budaya (cultural competence), bidang ilmu,dan kompetensi transfer yang dimiliki penerjemah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompetensi dan latar belakang penerjemah sangat berpengaruh pada proses penerjemahan, dan proses penerjemahan sangat berpengaruh pada kualitas terjemahan (Nababan, 2007: 18). 2.2 Kategori Budaya Newmark (1988: 94) mendefinsikan budaya “…as the way of life and its manifestation”, yang berarti “…sebagai cara hidup dan manifestasinya”. Cara hidup dan manifestasi tersebut khas bagi sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana berekspresi. Dalam mengklasifikasikan unsur budaya, Newmark menggolongkan unsur budaya kedalam lima kategori. Berikut
36 merupakan lima kategori unsur budaya yang diperinci oleh Newmark (1988): 1) Kategori Ekologi Unsur budaya dalam kategori ekologi yakni segala sesuatu yang sudah tersedia di alam, misalnya flora, fauna, dan kondisi geografis seperti gunung, daratan serta angin. Contoh: BSu: A dozen white tulips in a plastic vase were precariously perched a top one of the book stacks…. BSa : Selusin bunga tulip putih dalam vas plastik bertengger goyah di salah satu tumpukanbuku…. 2) Kategori Budaya Materiel/Artefak Unsur budaya dalam kategori materiel yakni segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia,misalnya makanan, pakaian, bangunan, alat transportasi dan komunikasi. Contoh: BSu: “And all the cranberry sauce you can eat.” BSa : “Juga saus cranberry yang bisa kaumakan sepuasnya.” 3) Kategori Budaya Sosial Unsur budaya yang termasuk dalam kategori budaya sosial yakni unsur kultur sosial yangmencangkup work dan leisure. Misalnya,
37 jenis pekerjaan dan hiburan atau aktivitas padawaktu luang. Contoh: BSu: On the way home, Alaska said, “You like knock-knock jokes?” BSa : Dalam perjalanan pulang, Alaska bertanya, “Kau suka lelucon tok-tok?” 4) Kategori Organisasi, Tradisi, Aktivitas dan Konsep, dsb. Unsur budaya yang termasuk kategori ini misalnya istilah dalam bidang politik, kemasyarakatan, keagamaan, seni (artistik), dsb. Contoh: BSu: Dr. Hyde started talking about how Buddhists believe that…. BSa : Dr. Hyde mulai bercerita tentang penganut Buddha yang percaya…. 5) Kategori Kial (Gesture dan Habits) Unsur budaya yang termasuk kategori ini misalnya gerak atau bahasa tubuh dan kebiasaan. Contoh: BSu: Before I could respond, he added, “I’d shake your hand, but I think you should holdon damn tight to that towel till you can get some clothes on.” BSa : Sebelum aku sempat merespons, ia menambahkan, “Aku mau
RkJQdWJsaXNoZXIy MTM3NDc5MQ==